Jumat, 13 Desember 2013

Aku dan Berhala-berhala

Lewat ini, aku sedang mencoba untuk mengumpulkan potongan-potongan ingatan tentang berhala yang pernah aku candui. Aku juga agak lupa kapan aku akhirnya memutuskan untuk tidak adiktif pada apapun. 

Seingatku begitu aku memutuskan untuk tidak lagi adiktif pada sesuatu ketika aku memutuskan untuk tidak lagi mengkonsumsi kopi. 

Aku tidak perlu mendaraskan daftar manfaat atau bahayanya mengkonsumsi kopi. Bukan karena faktor kesehatan yang membuat aku berhenti ngopi. Aku hanya menyadari bahwa aku mulai mencandu kopi dan hal itu merenggut kebebasanku untuk beraktifitas. Aku merasa perlu sakit kepala karena kepalaku jadi mengirimkan signal aneh untuk segera dijinakkan kalau tidak ngopi. Aku juga sering mendadak bodoh karena belum ngopi. Kadang juga, rasanya hari menjadi begitu lesu kalau aku melewatkan ritual ngopi. Aku pikir kopi yang aku sematkan dengan penuh kemanjaan sebagai bagian dari hidupku sudah begitu kurang ajar mengontrolku. 

Sebagai orang yang percaya betul adanya kehendak bebas dalam diri manusia, aku mencoba tidak menyalahkan siapapun. Ngopi atau tidak itu cuma soal pilihan dan selera. Walau bapak, ibu maupun kakak ku yang memperkenalkan aku dengan enaknya aktivitas ngopi secara tidak langsung juga ikut bertanggung jawab. Kopi hitam kental dan panas ataupun kopi instan dengan campuran macam-macam menjadi sebuah surga kecil yang mesti dinikmati dengan mata terpejam agar nikmatnya merasuk sampai ke batang otak terkecil.

Akhirnya, aku memutuskan untuk bercerai dari kopi. Kesayangan yang menjadi penyemangat hidupku. Aku menyuruh otakku untuk mengabaikan wangi yang menguar darinya. Aku jadi menghindari kopi sama sekali, baik fisik maupun aromanya. Sekalinya aku ngopi atau mencium bau kopi, aku tidak bisa tidur seharian dan itu sangat menyiksaku. Aku benar-benar memusuhinya. Aku juga bersyukur memiliki banyak kesempatan untuk tidak bertemu dengannya lagi. 

Aku jadi sangat menikmati saat aku menolak kesempatan menyesap kopi ini atau kopi itu yang konon enak sekali. Aku merasa telah lulus. Lepas dari satu berhala. Bisa saja suatu hari aku ngopi lagi. Tapi itu artinya aku berdamai dengan berhala itu lagi yang mungkin akan membujukku untuk menghamba lagi. Tapi paradigma ku sudah memunculkan penolakan-penolakan terhadap segala sesuatu yang bersifat adiktif. Aku hanya tidak suka dengan sesuatu yang adiktif karena itu membahayakan hak dasar kebutuhan eksistensial ku. Kebebasan. 

Lalu aku berkenalan dengan berhala baru bernama sosial media. Saat itu twitter belum populer. Rasanya cemas jika aku tidak mengecek apa yang terjadi dengan facebookku. Fecebook adalah media dimana aku sering memperlihatkan diri ku yang pantas dilihat orang. Itu seperti sebuah catwalk pemikiran dan aku merasa perlu juga untuk menunggu dari para kritikus mode maupun komentator. Aku rasa, aku punya masalah dengan konsep eksistensialisme dalam diriku sendiri. Sampai akhirnya pada suatu hari, persoalan pribadi yang timbul dari sana membuatku untuk memutuskan jalur hubunganku dengan facebook. Menutup akun jadi solusinya.

Ternyata itu bukan solusi. Aku membuka lagi dan kembali menemui persoalan eksistensialisme dalam diriku. Aku mulai menganalisa diri sendiri dengan pisau analisa seadanya karena aku belum punya banyak pilihan untuk menggunakan pisau yang mana. Setelah aku membedahnya, aku merasa perlu membuat skala prioritas tentang penting atau tidaknya sesuatu untuk dibagi. Aku tidak perlu punya kewajiban untuk menambah pertemanan lagi. Ternyata menjadi orang yang aktif di dunia maya itu tidak enak dan tidak merubah secara signifikan cara pandangku. Malah aku yang merasa mengalami penurunan kualitas diri. Aku mulai jarang mengunjungi akun facebook lain. Bahkan membalas komentar-komentar yang ada. Mau bagaimana lagi> aku sudah terlanjur ada di facebook. Aku merasa bahwa solusi kali ini adalah bukan dengan anti facebook. Hanya perlu mengurangi aktivitas produksi status maupun komen. Aku juga merasa baik-baik saja kalau sampai berminggu-minggu tidak membuka facebook. Ternyata, aku bebas dari satu berhala lagi. 

Lalu aku berkenalan dengan smartphone yang membuatku senang sekali chatting. Berhala baru telah datang ke hidupku. Aku bisa tidur pagi dan mencari pembenaran bahwa tidur pagi untuk chatting itu sah-sah saja. Sampai akhirnya aku harus mengucapkan selamat tinggal untuk smartphone yang pasrah dibuat berkarat oleh air laut. Bisa dibilang, ini terpisahkan karena keadaan. Aku jadi tidak mencandu lagi. Satu berhala telah dimusnahkan beserta dengan data-data percakapan bersama mantan kekasih. Aku menyikapi tenggelamnya Optimus prime L7 dengan perasaan biasa saja. Dengan tidak mengumumkan ke orang banyak di saat terjadinya hal itu. Oh iya, aku pernah kehilangan handphone sebelumnya yang membuatku bersedih. Kali ini tidak. Ternyata aku mampu untuk tidak terikat lagi oleh hal fana bernama smartphone. Aku juga tidak ngoyo untuk mencari penggantinya. Aku cukup adem ayem dengan hp biasa saja yang kecanggihannya hanya lampu senter. Aku tidak perlu merasa terasing juga ketika orang membutuhkan pin BB, ataupun whatsapp. Hidupku masih normal. Biasa saja. 

Aku masih menyukai banyak hal sambil berjanji untuk menyukainya dengan biasa saja. Seperti film bagus, buku-buku, sepatu wedges, baju-baju, make up berkualitas dan makanan enak. Aku pernah mencandu sop iga depan kostan, pempek samping kostan, dan sate padang samping kostan, Sekarang sudah sembuh dari mencandu itu. 

Aku menghargai mereka yang masih memberhalakan rokok, kopi, games, tokoh dan yang lainnya. Hidup orang tidaklah harus sama dengan idealisme kita. Orang melalui prosesnya masing-masing. Aku hanya perlu tersenyum pada teman yang berkata tidak dapat berpikir jernih jika tidak merokok. Ia sebut itu kenikmatan, aku sebut itu perbudakan. Sekali lagi, soal sudut pandang dan kesadaran.

Salah satu mantan kekasih (ini artinya aku punya lebih dari satu ya) pernah berkata, "Mencintai itu bagiku cari berhala. Aku kadang perlu sesuatu untuk disanjung-sanjung atau dipelihara. Kamu sekarang ini, jadi berhalaku."

Ketika kita berpisah, aku menyikapinya dengan penuh pemakluman. Aku maupun dia punya cara yang tidak sempurna dan tidak indah-indah banget dalam mencintai. Bagiku cara mencintai juga unsur penting dalam sebuah hubungan. Dia sadar bahwa selama ini aku membenci kebiasaannya merokok dan ngopi gila-gilaan tanpa makan apapun. Dia sadar bahwa aku juga membenci gaya hidup begadang habis-habisan atau tidur terlalu lama sampai akhirnya seharian tidak melakukan apa-apa. Dia tahu aku kecewa dengan banyak hal dan tapi aku memilih bertahan setiap kali ada hal yang membuatku ingin lari.

Aku mengajaknya untuk mendengar sebuah lagu dari Soko yang liriknya, "I'm not in love, i'm not in love, with you. But it;s okay to stay with you. I'm not in love..." Aku hanya ingin berkata bahwa aku tidak akan meninggalkan dia cuma karena aku ingin membuat nyaman diriku sendiri. Dia bisa jadi berhala juga di hidupku seperti dia yang menjadikan aku berhala di hidupnya. Tapi dia juga bukan kopi, facebook, sate padang depan kostan, Sop iga depan kostan, chatting dan apapun di dunia ini yang sempat aku candui. Dia manusia. Bukan seonggok daging-tulang-darah yang bisa disimpan dan diperlakukan semau kita. Aku tidak perlu mengusir orang yang memilih berlindung di dalam kubah yang sama denganku kecuali atas keputusannya sendiri. Dia bebas memilih tinggal atau pergi. Aku hanya perlu menyiapkan hati jika suatu hari ada yang pamit. 

Sekalipun dia pernah berkata, "Aku nggak pernah meninggalkan siapapun. Siapapun. Apalagi kamu." Dan kemudian hari di saat kita mesti berpisah dia berkata, "Aku minta maaf, kalau kita bersama keadaannya akan buruk bagi kamu maupun aku. Aku nggak layak buat kamu." Aku menganggap semua ini adalah sebuah titik di semesta yang tidak mempengaruhi jalannya galaksi bima sakti atau orbit siapapun. Itu adalah hal kecil. Sebagai sesuatu yang selama ini ia anggap berhala, aku harus maklum. 

Aku tidak akan mempertahankan atau memaksa orang untuk tinggal. Tidak. Aku juga menghargai diriku sendiri. untuk tidak meminta siapapun agar bertahan atau masuk. Barangkali hujan diluar sudah reda dan ia perlu melanjutkan hidupnya di luar sana setelah merasa cukup hangat berada di dalam rumah yang ada aku di dalamnya. Aku belajar untuk mencintai secara wajar siapapun yang singgah. Benar-benar ingin mencintai secara wajar. Termasuk memaklumi setiap manfaat praktis yang ia dapatkan dari hubungan ini. 

Mencintai juga artinya membebaskan. Termasuk membebaskan seseorang untuk keluar dari hidup kita, Lagipula, hukum kekekalan cinta meniscayakan bahwa cinta itu tidak akan musnah, ia hanya berpindah dari satu hati ke hati yang lainnya. Itu berlaku bagi pecinta dan yang dicintai. Prinsip niscaya juga mengatakan bahwa sesuatu yang ada permulaannya pasti juga pasti ada akhirnya. Kecuali Tuhan. 

Jika sesuatu yang aku cintai mulai jadi berhala, aku akan meniru jejak Ibrahim : membakar para berhala. 

Pada akhirnya, Voltaire pernah berkata, kebebasan itu adalah sebuah hal yang sulit. Terutama bagi orang bodoh yang memuja rantai penjeratnya sendiri.

Aku hanya tidak ingin jadi orang bodoh. Setidaknya di mata Voltaire.

Hujan di Mampang, 13 Desember 2013

5 komentar:

  1. Bagaimana ya jika kita malah memberhalakan kebebasan yg menentang pemberhalaan? Kan malah bakal jadi paradox

    BalasHapus
  2. Berhala itu ketika kamu berada di bawah kontrolnya dan kamu nggak bisa bergerak dengan berbagai macam pilihan-pilihanmu. Kalau kebebasan, kamu masih punya pilihan untuk terus bebas atau terikat.

    BalasHapus

Komentar Kamu?