Sabtu, 22 Februari 2014

Berjibaku dengan Buku-Buku

Di bulan ini, aku punya 2 hari dimana internet di modem dan HP ku mati. Modem habis masanya, Android habis kuotanya. Rasanya aku jadi punya banyak waktu luang, aku juga nggak kemana-mana, jadi baca buku adalah cara untuk membunuh sepi yang menyelimuti hati. Duileee...

Mbak Offy secara mengejutkan mau berbaik hati ngasih buku NH Dini La Grande Borne. Gara-gara pas aku main ke rumahnya bareng Zahra dan Taqi, aku ngintip koleksi buku dia yang banyak banget, Mbak Offy punya koleksi novel-novel keren yang nggak pernah aku punya dan pengen banget aku baca. Aku sempet pegang beberapa novel NH Dini, Moammar Emka, Seno Gumirah dll. Niatnya mau pinjem. Tapi mbak Offy bilang dia bukan type orang yang suka minjemin buku. Padahal aku kan sayang sama mbak Offy, masak nggak boleh pinjem? :(( Tapi sepertinya itu prinsip mati yang nggak bisa diganggu gugat, Jadi aku nggak maksa. Eh, beberapa hari kemudian, lewat Zahra, aku malah dikasih salah satu koleksi novelnya. Aku jadi nunggu mbak Offy mengasihani diriku yang haus akan buku-buku fiksi dan kasih sayang ini dengan melemparkan satu dua koleksi bukunya lagi. Semoga mbak Offy punya kesempatan untuk berbuat khilaf seperti itu. Pahalanya besar soalnya. Mbak Offy masih butuh pahala ga sih? 

Dulu pas SD atau SMP, tiap kali aku mau baca buku NH Dini mbak ku selalu ngelarang. Katanya itu novel dewasa. Aku tahu NH Dini adalah seorang novelis yang bagus dari komentar para tokoh sastra dan selalu liat karyanya di tempat penyewaan buku. Selalu saja laris dipinjam oleh penyewa dan karyanya banyak sekali. Aku kan mikirnya kalau novel seseorang bisa banyak, berarti dia bertahan. Baik di sisi kritikus sastra, maupun pembaca. Pemikiran cetek ya. Harap maklum, aku pas mikir gitu kan pas SMP. Emang pas kamu SMP bisa mikir apa ha? Paling mikirin susu murni Nasional pencipta lagunya siapa kan? Jangan ngeremehin pikiranku pas masih kecil makanya. 

Aku Suka Covernya
Aku juga lupa kenapa aku ini nggak nekat baca NH Dini dari dulu. Biasanya makin dilarang makin nekat akunya. Padahal aku baca Novel Motinggo Busye yang isinya masih esek-esek pas dia belum taubat dan sebelum bikin novel religius lho. Sesekali baca Fredy S dan masih suka merinding disko baca Marga T kalau udah mulai adegan pegangan tangan. Sempet baca Pengakuan Pariyem yang uhuk-uhuk itu. Ya aku kan anaknya polos, suka mengaji dan menolong orang tua, Baca Novel kayak gitu mah udah cukup tinggi buat aku. Tentu saja bacanya diam-diam.

Sayangnya, aku sendiri baru baca karya NH Dini nya sekarang. Padahal adegan romantisnya cuma pas Dini berduaan sama Bagus atau sama Pascal. Itupun nggak seberapa. Aku dapet Novel itu sekitar jam 7 malam. Pas pertama dibawain sama Zahra itu sempet intip-intip dengan baca random. Sempet baca 2 lembar pendahuluan di Taman Menteng pas kumpul bareng komunitas @bacaditaman. Dilanjut baca lagi besoknya jam 10 pagi-3 sore sambil ngapa-ngapain. Selesai juga. Eh, di sini, aku baru tahu novel NH Dini itu novel otobiografi. 

Senengnya ada tulisan dari Lawyer di bukuku
Kalau aku jadi dia, aku nggak akan berani menulis diriku secara terbuka seperti itu. Aku merasa ada beberapa aspek hidupku yang menarik untuk ditulis, tapi aku janji tidak akan menulis sevulgar itu. Aku tidak akan sanggup bercerita sampai masuk ke dalam kamar seperti Dini yang mengajak pembaca menonton dia bermesraan. Ingat pelajaran akhlaq dan adab dari ustad Jalaluddin Rakhmat dulu, konteks dia saat itu adalah tentang ustad. Dia bilang, "Ustad jaman sekarang mengijinkan media memasuki ranjang yang harusnya hanya milik ia dan istrinya, ustad juga sampai mengijinkan media memasuki bagian terdalam rumahnya. Ini sangat keterlaluan, harusnya seseorang tahu sejauh mana orang boleh menonton kehidupannya." Lalu Ustad Jalal mengutip hadis Rasulullah tentang larangan menceritakan hal ranjang. Di buku Husain Madzohiri yang judulnya Pintar Mendidik Anak juga disebut kalau kita tidak boleh menceritakan urusan rumah tangga secara mendetail kepada orang luar, apalagi urusan ranjang. Sangat aib. Aku terdoktrin ga menurutmu? Aku pikir memang masuk akal. Karena aku sendiri malu bicara hal vulgar. Kata Abdul Hadi WM, "Ngapain bicara vulgar-vulgar tentang sex, teriak-teriak di panggung pas baca puisi soal esek-esek, kayak kehidupan sexnya nggak puas aja sehingga mesti ngumumin di depan orang-orang kalau dia bisa mikir sex juga. Orang yang sudah merasa puas dan cukup itu nggak perlu koar-koar lah!"

Tidak tahu bagaimana NH Dini bisa punya mental sekuat itu yang berani menceritakan dirinya secara terbuka. Waktu anak-anaknya baca bagaimana responnya ya?

Kembali ke durasi baca novel.

Baca novel yang bisa cepat selesai gitu meningkatkan kepercayaan diri sendiri bahwa otakku masih punya kemampuan untuk menyelesaikan buku. Karena beberapa buku memang nggak kuat dibaca sampai akhir. Buku filsafat dengan banyak istilah filsafat yang tidak umum memang bikin otakku cepat panas, jadi pengen makan eskrim terus. Kan sebagai anak kostan, kalau itu dituruti, bisa boros duit. Sayang sekali ya...

Seleraku Sebenernya Gimana?

Well, aku harus mengakui bahwa aku ini masih jarang baca novel. Seringnya baca buku filsafat atau buku-buku yang bahas isu tertentu. Jadi ingatanku tentang novel atau pengetahuan sastra ku tidak banyak.

Bahkan aku mulai meragukan seleraku sendiri. Seseorang (maaf, nggak disebut namanya, daripada kontroversi nantinya) memberiku buku "Isyarat Cinta yang Keras Kepala" karya Puthut Ea. Aku pikir aku akan menikmati kumpulan prosa itu karna aku baca review dan dengar komentar orang tentang karya dia cukup bagus. Pas aku baca, kok biasa aja ya. Beberapa bagus, beberapa bikin aku heran kenapa prosa itu harus masuk. Kalau sempet dan nggak males pengen review satu-satu.

Aku juga dikasih buku oleh orang yang sama, judulnya Murjangkung, kumpulan cerpen AS Laksana. Sebenernya mau aku pinjam. Tapi aku keceplosan bilang ke orangnya, "buat aku ya", trus dia jawabnya boleh karena dia biasanya berjodoh dengan buku bagus, lalu buku itu otomatis buat aku, sama buku kumpulan puisi Abdul Hadi WM yang judulnya Meditasi. Cuma dikit yang aku suka dari Murjangkung. Aku mulai meragukan seleraku karna ada banyak yang bilang itu buku bagus dan dapat nominasi Khatulistiwa Literati Award. Aku suka tulisan-tulisan AS Laksana di Jawa Pos (kalau nggak salah koran itu ya, lupa soalnya). Tapi ternyata fiksinya biasa saja. 

Mungkin karna aku suka sekali dialog. Aku suka bercerita dan mengobrol sehingga aku sering mengingat dialog-dialog yang aku anggap kuat. Aku tidak begitu terkesan percakapan batin atau cerita-cerita di dalam kepala. Nah, mungkin prosa Puthut Ea yang aku dapet banyakan monolognya, jadi bukan seleraku. Apalagi pas aku bawa buku itu di kampus, Pak Abdul Hadi WM yang sempet liat dan pegang-pegang udah kritik judul kedua buku itu yang dibilang bertele-tele dan rumit. Dia bilang, judul haruslah sederhana. Kayak Mata karya Tigore. Kan Sederhana dan mudah dimengerti. Aku agak terpengaruh kata Pak Hadi juga. Tapi kan Pak Hadi itu generasi tua. Seringkali pemikirannya konservatif. Aku tak hendak membela dua buku itu. Tapi aku rasa hanya soal selera. Selera Pak Hadi dan pembaca sastra yang sekarang berbeda, Termasuk seleraku. Selera itu kan dididik. Didikan terhadap selera juga berproses.

Aku tidak percaya diri dengan seleraku juga karena kursus Jurnalisme  Sastrawi Narasi PANTAU. Pas Bang Andreas memeriksa karya kita, ada beberapa karya teman yang bagiku amat biasa-biasa saja, tapi bagi dia sangat bagus. Yang aku anggap bagus, bagi dia banyak salahnya. Jadi aku bingung dengan orientasi seleraku. Aku harus dididik lagi. Soalnya aku tahu diri. Siapalah aku ini, kan bukan orang yang membaca begitu banyak karya atau sampai pada tahap kritikus. Apalagi belum punya karya yang bagus. Jadi standing point ku untuk percaya dengan seleraku sendiri masih lemah. Nanti saat aku sudah merumuskan tentang bagaimana sebuah karya itu disebut bagus atau jelek, baru aku berani bilang. Harus banyak berkarya dulu lah baru bisa tabrak karya orang sana-sini. Kalau belum punya karya, boleh-boleh aja nyerang karya orang. Tapi, aku pikir, standing point nya akan lemah. Mesti perkuat analisa dan kepekaan dalam-dalam. Kecuali memang ingin diserang pakai ad hominem. Tapi sayang sekali, kayak gitu buang energi. Menurutku sih...
Cover Buku Pak Wija

Setelah menyelesaikan NH Dini, aku berminat menyelesaikan Murjangkung yang tinggal beberapa cerita saja. 2 atau 3 cerita. Tapi sebelum itu, aku ingin menata buku-buku di rak ku yang berjejalan dengan buku yang melimpah. Menata rak buku adalah pekerjaan yang sangat lama karena tiap pegang buku, maunya dibaca dulu selembar dua lembar baru di tata di rak. Buku-buku selalu sukses merayu untuk dibuka. Bukuku ternyata banyak juga. Sempet bertanya-tanya dalam hati (soalnya sendirian, aneh kan kalau ngomong sendiri), aku harus beli rak buku lagi nggak ya...?

Aku mengambil satu buku judulnya Jendela Hati karya Wijayanto Samirin. Dia ini Deputi Rektor Paramadina yang baik dan memang terkenal tulus. Aku sangat respek sama pribadinya. Nah, aku dapat buku ini gratis dari dia pas nemenin seorang selebtweet wawancara Pak Wija di kampus. Jadi buku itu ada tandatangan penulisnya. Karena bukunya aku curigai mirip buku motivasi, aku nggak pernah minat baca buku macam itu. Sampai tiba hari itu. Iseng belaka awalnya. 

Aku mulai buku itu dari tengah. Baca satu dua, cerita yang judulnya Dua Jam Bersama Bu Wasiri. Seperti dugaanku, ada kesimpulan di akhir cerita yang membuat pembaca jadi terbatas untuk membuat kesimpulan sendiri. Apalagi ada beberapa kalimat penekanan yang di bold. Kenapa harus di bold cuma untuk menarik perhatian pembaca sih? Kalau kalimat itu memang mengena, akan tetap jadi perhatian pembaca tanpa perlu di tandai secara mencolok kayak gitu kok. Dulunya aku pikir sah-sah saja penulis membuat kesimpulan atau hikmah di akhir ceritanya sendiri atau pakai gaya suka-suka dia. Tapi semenjak dapet pelajaran di kursus PANTAU, pandanganku tentang itu berubah. Aku baru tahu kalau penulis yang model begitu justru penulis yang buruk. Kita harus bisa menyampaikan pesan kita lewat adegan, dialog, atau uraian cerita tanpa menyetir pembaca secara langsung tujuan pesan kita. Selera ku terhadap sebuah tulisan dididik di sini. Aku jadi sangat menghindari menyimpulkan sesuatu di akhir tulisan atau secara terbuka menceramahi pembaca tentang hikmah apa yang ada dalam tulisanku. Soalnya salah satu tugas nulis PANTAU ku menurut Janet Steele yang Profesor jurnalisme dari George Washington University itu bagus sekali. Dia suka ide liputan dan dialog yang aku ikat di tulisan, sayangnya tulisanku mengandung kesalahan fatal karena aku menyimpulkan di akhir tulisan. Kejadian itu menambah kepekaan ku dalam membaca dan menulis sebuah tulisan. 

Bukunya khusus buat aku dong.. 
Baiklah, mengkritisi teknis penulisan sudah cukup. Cerita yang Pak Wija hadirkan overall bagus. Kalau seseorang nggak pernah ikut kursus nulis atau komunitas literasi, urusan teknis nulis sama sekali nggak akan mengganggu. Satu cerita paling satu setengah halaman dengan banyak pelajaran di dalamnya. Ada yang lucu, ada yang trenyuh dan seperti biasa, pak Wija menebar optimisme di setiap ceritanya. Khas Pak Wija dan Paramadina banget, sampe mikir, Paramadina yang kayak Pak Wija atau Pak Wija yang kayak Paramadina? Halah, kan Pak Wija juga yang ngebentuk wajah Paramadina sekarang. 

Aku menikmati cerita-cerita di bukunya. Terutama cerita tentang transfer masalah, makan kacang dan bakso, Noam Chomsky, Anies Baswedan, dan timbangan di fitness center. Cerita lainnya juga suka, tapi dengan suka yang biasa. Aku jadi lupa bahwa masalah teknis nulis tentang kesimpulan tadi yang awalnya sangat menggangguku ternyata nggak banyak ganggu. Bacanya enak. Tau-tau aku ada di akhir halaman. Akhirnya aku buka lagi halaman awal buku dan baca sampai ke bagian tengah, di halaman tempat aku memulai baca cerita tadi. 2,5 jam satu buku 177 halaman itu selesai juga. 

Jadi dalam 2 hari tanpa internet di modem dan android, aku menyelesaikan 2 buku.

Hal itu sangat mudah karena itu buku fiksi dan buku ringan. Karena aku sedang membaca filsafat dengan pendekatan Iluminasi milik Mehdi Hairi Yazdi tapi aku rasa otakku agak keteteran. Nggak kuat baca 5 halaman sehari karena satu halaman harus diulang-ulang. Aku jadi merasa otakku kurang nutrisi dan kurang bisa menyerap hal yang pintar-pintar. Aku memang jarang makan ikan sih. Gara-gara alergi debu yang nggak ngebolehin makan makanan berprotein tinggi kayak ikan gitu. Salahin debu, salahin ikan, salahin dokter dan salahku sendiri juga, Dzolamtu nafsi lah aku ini...

Kalau Smartphone dan internet nggak ada, aku bisa fokus baca buku. Tapi kerjaan ku bisa keteteran dan jalur komunikasi tertutup. Malah merugiikan secara material. Tapi menguntungkan secara batiniah. Setelah gajian masuk ke rekening ku, aku bisa beli paket internet untuk modem dan android lagi. Sibuk sama target yang aku bikin sendiri di kerjaan sama ngetwit. Cuma baca buku dikit, tapi baca banyak artikel di flipboard. I hate studying, i love learning. Akhir-akhir ini kehilangan semangat kuliah. Tapi nggak kehilangan semangat untuk baca buku.

ps : 
Semoga aku nggak nyetir pembaca dengan bikin kesimpulan di sini. Kalau nggak sengaja gitu, maaf yak. Jangan salahin Kursus PANTAU yang keren itu. Salahin aku aja yang tidak pintar dan nggak rajin berlatih nulis ini. Sekali lagi, maafin yak.

Selasa, 18 Februari 2014

Cuma Bisa Omong, Maaf...

Aku mulai tidak mengerti tentang pernikahan. Ada banyak perceraian di sekitarku yang membuatku merasa bahwa mencintai saja tidak cukup sebagai bekal untuk menikahi seseorang.

Akhir tahun 2013 lalu, seorang sahabat (dulunya kita sempat dekat dan hampir pacaran) menelepon pada pukul 1 dini hari. Dia bilang, "Mantan aku mau nikah lagi minggu depan. Padahal rasanya baru kemarin kita cerai."

Sahabatku, menikah tahun 2012 lalu. Dia menikahi janda beranak 2 yang ia cintai. belum berjalan satu tahun, mereka bercerai. Banyak alasan. Sahabatku bilang dia menceraikan istrinya karena tidak tahan dengan temperamen keras istri dan berbagai masalah lainnya. Padahal, saat dulu menikahinya, dia begitu bangga dengan istrinya yang bekerja sebagai PNS di Pemda. Betapa mandiri, betapa tangguh dan segerombol alasan lainnya yang menjadikan segalanya tampak sempurna.

Hal yang awalnya dibanggakan justru jadi boomerang, Intinya, sahabatku yang pengusaha itu terganggu dengan aktivitas istrinya sebagai PNS. Itu  jadi salah satu pemicu pertengkaran.

Mereka bercerai. Istri memohon rujuk karena khawatir dengan gunjingan orang sekitar yang akan membicarakan tentang kegagalan pernikahannya lagi. Sahabatku bersikeras untuk dengan perceraian ini.

Walau dia yang menceraikan, hidupnya juga ikut kacau, pekerjaan jadi berantakan. Ternyata jadi yang memutuskan hubungan itu bukan sebuah kebanggaan. Bukan sebuah kelegaan. Dia bilang, ada rasa bersalah, penyesalan, dan perasaan-perasaan yang mungkin akan membunuhnya pelan-pelan.

Mantan istrinya sempat meneleponku, memberikan sudut pandangnya terhadap perceraian itu. Aku hanya memberikan dukungan. Ia khawatir dengan cerita yang berat sebelah. Ia khawatir aku memandangnya salah seperti orang-orang di sekitarnya. Aku bilang aku tidak akan berpikir seperti itu. Dia harus kuat. Tapi, daripada jadi seorang motivator, aku malah merasa seperti seorang jurnalis yang sedang menginvestigasi kasus dan ada seorang narasumber yang murah hati membeberkan sudut pandangnya. Padahal aku tidak menginginkan cerita. Aku hanya mendengar. Kalau akhirnya aku mendapatkan versi cerita utuh sesuai prinsip bernama cover both side, Ya itu bukan karena aku yang mengorek-orek. Apa pentingnya?

Toh, tidak ada hal yang yang aku lakukan selain membesarkan hatinya seolah-olah aku orang yang besar hati. Aku bisa apa? Aku kan tidak bisa memberikan opini-opini tertentu. Bukannya meredakan, aku takut malah memperunyam masalah mereka. Yang jelas, dalam hal ini. Aku merasa beruntung tidak ada tuduhan kalau aku jadi orang ketiga diantara mereka. Karena sahabatku baru rutin berkomunikasi kembali saat dia bercerai. Bukan saat dia masih terikat pernikahan. Mantan istrinya tahu betul tentang itu.

Aku memutar memory kebelakang. Bukankah saat menikah mereka sama-sama jatuh cinta? Lalu kenapa cinta itu menguap begitu cepat? Toh mereka sebelumnya juga sudah pacaran.

Ah iya, sahabatku sempat mempertimbangkan aku dulunya, dengan pertanyaan, "Bagaimana kalau kita menikah?" Tapi aku terlalu kecil, 19 tahun. Aku tidak mau buru-buru. Bukankah kuliah di Jakarta dan bertemu orang-orang baru itu menyenangkan? Jika aku menikah, dia bilang aku tidak mungkin kuliah. Akhirnya, dia mendapatkan juga perempuan yang senyumnya bagai gulali yang usianya 2 tahun dibawahnya, 27 tahun. Itu setelah berselang lama. Bertahun-tahun kemudian. Menurutku mereka pasangan sempurna. Aku bahagia dengan pilihannya. Kalau akhirnya mereka sekarang bercerai, aku menyayangkan. Tapi kita bisa apa? Yang menjalani dan merasakan sendiri mereka. Salah kalau intervensi. Kalau aku sarankan rujuk, aku takut kalau-kalau itu bukan jalan terbaik. Aku tidak tahu apa-apa tentang hidup mereka. Aku hanya berkata pada mereka untuk tidak saling berteriak, membuat salah satu menangis maupun memancing persoalan. Lagi-lagi, aku hanya bisa omong.

Kembali ke soal perceraian...

Ada banyak kasus perceraian lainnya di sekitarku. Yang sebelum menikah pacarannya sebentar maupun yang pacarannya lama juga mengalami perceraian. Ada yang merasa bagai beli kucing dalam karung ada yang merasa kesabarannya sudah habis.

Aku tahu cinta ideal adalah seperti yang dikatakan oleh para Filosof tentang tak henti memberi. Tak henti mencintai, tak henti mendoa. Tapi siapa yang punya cinta macam itu?

Aku berkata pada sahabatku, "Aku tahu ini berat, berbahagialah. Bukankah setelah perceraian, seharusnya kalian berhenti untuk saling menyakiti atau berhenti untuk sekedar merasa tersakiti?"

Aku menelan ludah ku saat berkata seperti itu. Karena aku tau pasti sulit. Aku hanya menenangkan dia. Putus saat masih jadi kekasih saja sakit, apalagi saat pernikahan. Tapi aku terlalu bingung harus bicara apa? Kita kan bicara di telepon, bukankah aneh kalau tiba-tiba aku diam saja?

Ingatan tentang luka menghampiri lagi. Itu adalah alarm jiwa untuk membaca Attar lagi, dan menemukan bahwa tujuanku hanyalah sampai ke Simurgh. Ini memang teori, semacam pembelaan diri, mirip dengan aktivitas memotivasi diri sendiri. Lalu, memangnya aku bisa apa? Bunuh diri? Nangis berhari-hari? Cih!

Tiba-tiba aku khawatir, bagaimana kalau suatu hari nanti aku malah tidak bisa jadi istri yang baik?

Perutku tiba-tiba mual.

Sabtu, 01 Februari 2014

Baiklah Cuaca, Kau Menang!

Akhir-akhir ini aku sedang tidak sehat. Dikalahkan cuaca dan merasa agak terhina karena itu. Sedang jengkel juga dengan hujan yang enggan absen disetiap harinya. Hujan, seperti sedang menertawakan orang sepertiku yang terlalu pengecut untuk menerjangnya demi kuliah pagi jam 7.

Setiap malam aku batuk. Benar-benar batuk sampai capek dan tidak bisa tidur. Bukan batuk berdahak. Aku kurang ahli dalam menentukan batuk seperti apa yang menderaku. Yang jelas, karena ini, aku harus menaruh selimut tebal-tebal agar dingin tidak menyerang langsung tubuhku. Rasanya dingin. Padahal suhu tubuhku normal. Kata teman yang main ke kamar, kamar ku cukup hangat. Tapi aku tetap kedinginan. Ada sesuatu yang rasanya menekan di dada jika tidak dihadang oleh selimut berlapis-lapis.

Rasanya ini sudah terjadi sepanjang Januari.

Sudah minum obat batuk sirup tapi masih belum ada perkembangan. 

Aku tidak berani ke dokter. Aku takut rumah sakit. Payah sekali. Pengalaman ke dokter selalu buruk. 

Penampilanku belakangan ini juga akan aneh karena aku pakai syal kemana-mana seolah sedang berada di tengah musim dingin Eropa. Syal ku sangat tebal. Melilit leher dan bertumpuk di depan dada. Karena saat gerimis atau hujan, aku kedinginan. Kedinginan membuat aku batuk juga. Entah pagi, siang ataupun malam.

Aku jadi kangen saat-saat tidur malam dengan nyenyak tanpa batuk. Aku sudah lupa rasanya melalui malam-malam tanpa batuk. 

Jangan tanya macam-macam dan menganalisa macam-macam. Kau akan tampak memuakkan di depan ku. Aku sungguh-sungguh.

Jika ingin peduli, atau ingin berkontribusi dalam hidupku, kau bisa memilih salah satu dari 2 hal ini :

Opsi pertama, temani aku ke dokter atau rumah sakit. Pastikan bahwa dokter tidak memberi suntikan atau bicara hal-hal menakutkan. Pastikan aku tidak lemas di tempat saat bau obat menyerobot masuk ke indra penciumanku yang super sensitif. Pastikan bahwa dokter memeriksa atau meraba di tempat yang semestinya. Aku punya pengalaman buruk berada di ruang pemeriksaan sendirian. Maka, tolong mengertilah. Berjanjilah untuk memastikan hal itu.

Opsi kedua, peluk aku waktu tidur dan elus kepalaku saat aku mulai "ritual" batuk ini. Pastikan bahwa sekalipun aku batuk, mataku tetap terpejam dan beristirahat. Kemudian bangunkan aku pagi-pagi pukul 5 karena pada pukul 7 aku harus berangkat kuliah. Aku tidak bisa skip kelas lagi. SKS ku berantakan. Ingatkan juga untuk minum air putih banyak-banyak di pagi hari. 

Kalau tidak bisa melakukan 2 hal itu, diamlah. Jangan banyak komentar. Yang bisa dan harus kau lakukan adalah berdoa diam-diam agar ada yang melakukan itu untukku atau tiba-tiba ada orang dengan kesaktian Yesus sang penyembuh datang untuk memulihkanku. Doakan saja diam-diam, agar aku tidak merasa ada orang yang prihatin terhadap ku. Masak prihatin? Kayak SBY aja. Jadi kalau ada yang prihatin, aku akan merasa terhina karena miirip SBY ke rakyat nya. 

Disfungsi organ itu hal biasa. Jangan disikapi dengan heboh, Aku juga merasa keadaan ku biasa saja. Batuk bukan akhir dunia. Batuk tidak sesakit selusin kebohongan mantan kekasih yang baru saja menikah. Batuk itu pernah dialami semua orang. Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Khawatirkan saja Sinabung, Merapi, dan gunung-gunung lain yang batuknya membuat orang-orang mengungsi.

Demikian kabar terakhir ku. Disamping batuk, aku juga masih bahagia. Masih sanggup membahagiakan orang disekitarku juga. Kalau tidak bahagia, silakan cari kebahagiaan sendiri. 

Kalau kau merasa menderita karena aku, ya berarti salah berharap. Jangan berharap untuk tidak menderita jika berurusan dengan penderita batuk. Logika macam apa yang dipakai untuk minta dibahagiakan oleh seorang penderita? Masak iya pakai logika moral ala alumni UI yang "aktivis moral" itu? Yang suka pakai kata "saya sudah ini itu" di akun sosial media organisasi. Jangan seperti itu. Fallacy jangan ditiru. Jangan ya! Berjanjilah! Kalau mau pakai kata "Logika Moral" untuk lucu-lucuan, masih boleh. Asal lucu beneran. 

Sekian dan terima nasib.