Senin, 22 Desember 2014

11.11

Ada mitos terkenal yang berkata, "Jika secara tidak sengaja kau melihat jam yang menunjukkan pukul 11.11, maka itu adalah waktu yang tepat untuk berdoa, memohon keinginanmu yang terdalam."

Kebanyakan orang sulit mencari apa keinginan terdalamnya. Orang bilang, menabung harap itu gratis, maka buatlah daftar harapan sebanyak-banyaknya. Seolah sedang mengawin paksakan antara harapan yang immateri dengan mata uang yang materi. Karena itu, beberapa orang memiliki terlalu banyak keinginan.

Beberapa orang terpasung dalam selusin mimpi. Harapan-harapan yang berderap di dada bagai tentara yang dikirim ke medan perang. Betapapun canggihnya strategi yang disusun, kemungkinan akan ada tentara yang mati tetap ada. Orang tetap tak peduli. Mereka bilang, jika tentara-tentara itu mati, mereka akan dengan mudah menumbuhkannya. Semudah meniup dandelion di depan bibirmu kemudian merontokkannya satu-satu hingga puncaknya luruh bagai salju.

Jika benar bahwa harapan itu letaknya ada di hati terdalammu, berapa kali kau harus merelakannya mati sebelum berhasil menumbuhkannya lagi?

Tadi malam aku nyaris tak bisa tidur. Walau ada Murakami di sampingku, aku lebih memilih untuk memandangi layar ponsel sambil mencari alasan untuk apa aku menghubungimu. Aku tidak berhasil menyusun skenario. Waktumu yang berharga akan terbuang sia-sia jika mesti terlibat dalam skenario picisan yang disusun hanya karena rindu. Rindu dari seorang perempuan yang seringkali hanya merepotkanmu dengan urusan-urusan sepelenya ketimbang hal-hal besar yang biasa kau kerjakan.

Kau tak suka menabung harapan dan memintaku untuk melakukan hal yang sama. Kau tahu, aku akan mengiyakan apapun asal kita bisa bersama. Aku akan sibuk menghapus pertanyaan-pertanyaan di kepala soal banyak hal seputar mengapa. Kau akan mengelus kepalaku dengan lembut tiap malam sebelum waktu tidur kita tiba, "Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja."

Setiap kali memejamkan mata setelah percakapan panjang kita, aku harap kita berdua memang sedang berada di sebuah pantai. Dekat sekali dengan ombak. Kita tak perlu risau melangkah kemana saja karena toh jejak langkah akan terhapus begitu saja oleh ombak.

Ada banyak hal terjadi yang membuat kita jadi lelah untuk saling memahami. Kau mengerti, tapi tak memahami. Pun aku. Kita tahu betul bahwa memahami dan mengerti adalah dua hal yang berbeda.

Yang tersisa dari kita adalah ingatan.

"Jogja hujan kan, Banu?" Katamu saat itu.

Aku mengiyakan. Ada sesuatu yang tak bisa ku cegah sedang membuncah di dada. Akhirnya ada satu waktu di mana kita sedang berada di kota yang sama.

Lalu aku akan mengeluh padamu soal kekalahanku pada dingin, tentang rasa keingintahuanku pada diriku sendiri, dan tentang segala sesuatu yang bisa kita bahas bersama.

Ini adalah dingin yang sama dengan saat itu. Jika kau berada di kota ini, atau di manapun, aku harap kau tahu bahwa aku sedang merindukan caramu menggoda jarak diantara kita.

Pada 11.11, aku menggadaikan nalar atas namamu. Demi mengadukan nasib pada mitos yang tak berujung.

Sepersekian detik yang tersisa, sebelum berganti menit. Kesadaran tentang keinginan terdalamku memenuhi kepala.

Aku sedang menabung harap yang sering kita punggungi, menghadapi kemungkinan kecewa yang sudah biasa kita telan mentah-mentah.

"Aku hanya ingin berjumpa denganmu, K…"

Jogja, 22-24 Desember 2014

2 komentar:

Komentar Kamu?