Selasa, 20 Januari 2015

Ultimatum I

Sahabatku adalah orang dengan gaya hidup sehat terutama dalam hal makanan. Dia menyadari bahwa potensi diabetes dari almarhum ibunya bisa diturunkan padanya. Dia juga punya darah tinggi. Dalam keadaan emosional, tekanan darahnya bisa naik sangat tinggi. Sekalipun kemarahannya diekspresikan dalam diam, reaksi tubuh akibat darah tinggi selalu buruk. Tubuh kurus tanpa lemak berusaha 25 tahun itu harus menahan sakit kepala luar biasa yang tidak bisa diatasi dengan obat sakit kepala dari warung jika kambuh.

Ini adalah tahun keenam persahabatan kami. Pada tahun ketiga saat kami belum sibuk seperti sekarang, kami melewati saat-saat makan bersama hampir setiap waktu. Baik makan siang maupun makan malam. Rumahnya bisa ditempuh dengan jalan kaki dari kostanku. Jika aku sakit, dia akan memasakkan makanan dari rumahnya dengan menu sederhana dan mengantarnya ke kostan. Kadang nasi telur dadar, kadang ikan, pernah juga ikan Cakalang oleh-olehnya dari Manado dibumbu kecap tanpa resep khusus yang herannya, sangat enak.

Saking akrabnya, kita sering dikira pacaran bahkan oleh keluarganya sendiri. Dia memasang foto kami berdua di ruang tamu, bersebelahan dengan foto pernikahan kakak-kakaknya. Itu juga karena kita sering bersama saat belanja, jalan-jalan, nonton, makan, maupun kondangan. Kami tidak pernah merasa terbebani dengan prasangka orang.

"Sudah sedekat itu, kenapa nggak jadian?" Tanya beberapa teman kami.

Kita saling tahu gebetan masing-masing. Kadang berkompromi, jika hari minggu dia jalan bersama gebetannya, maka malam minggunya dia akan jalan denganku. Aku pun juga sebaliknya. Kami memang saling menyayangi dan peduli, tapi hanya sebatas sahabat. Kami pernah membahasnya, perasaan untuk saling memiliki secara khusus tak ada. Pun cemburu.

Aku mengerti, banyak orang yang tidak bisa menjalani hubungan seperti ini karena kedekatan dengan lawan jenis sering menimbulkan perasaan sayang yang dipikir mengarah ke cinta. Tapi kami tidak. Kami tidak ingin pacaran, apalagi sampai menikah. Kami juga tidak ingin punya bayi yang dibuat bersama (if you know what I mean). Sedekat apapun hubungan kami, tidak ada romantisme di dalamnya.

Kami juga masih menghormati privasi masing-masing. Sehingga tidak merasa aneh jika ada beberapa hal yang tidak bisa diceritakan satu sama lain. Aku pikir ini adalah satu hal yang membuat kami bertahan lama. Kami tak pernah memaksa satu sama lain atas nama kedekatan dan kepedulian. Kami sudah membangun relasi yang setara sama kuat.

Kebaikan tanpa pamrih masih ada di dunia ini.

Aku harap jenis hubungan kami sudah jelas di sini.

Kembali ke soal makanan. Karena bergaya hidup sehat, kita sering bingung dalam memilih menu makanan. Kita tidak akan makan makanan yang bisa berpotensi darah tinggi, banyak kolestrol, mengandung banyak gula maupun pemanis buatan, gorengan yang tidak jelas jenis minyaknya, makanan yang terlalu pedas, makanan yang mengandung banyak MSG. Terutama Fast Food.

Beberapa waktu lalu saat kita belanja bersama di Indomaret, aku berdiri di depan rak kopi dan agak bingung memilih kopi instan yang tepat untukku. Dia berdiri di sampingku, ikut membaca berderet merk kopi instan dengan berbagai varian racikan. Arabica, italiano, dengan dan atau tanpa ampas, mengandung gula atau tanpa gula dan lain-lain. Karena dia bukan lelaki peminum kopi dan tak pernah merokok, dia mengerti kebingunganku. Dia juga tidak tahu apapun soal kopi.

Sebenarnya aku juga bukan peminum kopi. Aku sudah berhenti minum kopi 3 tahun lalu. Tapi minum kopi lagi di pertengahan tahun lalu saat seorang kawan mengajak ke kedai kopi untuk ngobrol. Karena tidak ada menu lainnya laiknya coffee shop pada umumnya, aku jadi memesan kopi. Enaknya kopi pesenanku membuat rasa kangen minum kopi timbul lagi sewaktu-waktu. Tetap saja, aku membatasi minum kopi hanya seminggu 3 kali.

Aku meraih kardus kopi instan isi 10, aku bertanya padanya, "ini gimana?"

"Jangan, mengandung pemanis buatan." Katanya setelah membaca komposisi yang tertulis di belakang kemasan.

"Kalau ini?" Tanyaku menyodorkan merk dan jenis kopi yang lain.

"Jangan," katanya sambil meletakkan kopi itu di rak semula, "itu terlalu strong. Cari yang ringan aja."

Baiklah…

Mataku menyisiri rak kopi itu lagi. Dari atas, ke bawah, lalu ke atas lagi. Aku menemukan kopi favorit bapakku. Tanpa gula dan berampas. Menurutku, kopi itu enak, menimbulkan sensasi kecut dan cocok dijadikan teman begadang.

"Jangan itu, terlalu banyak caffeinenya."

"Terus apa dong? Yang mana?"

"Sebenarnya lebih sehat teh kan?"

Aku sudah punya teh hijau di kostku. Aku hanya belum memberitahunya. "Aku mau ngopi. Lagi pengen ngopi. Gimana dong?"

Dia menggaruk kepalanya, "Ini terlalu keras kopinya. Nanti lambungmu sakit."

"Trus?" Aku makin bingung karena yang dia katakan benar. "Atau ini aja ya? Strong, tapi bukan kopi murni. Mereka bilang… emmm… mengandung susu dan pemanis buatan. Tapi aku janji akan minum banyak air putih kalau minum ini. Nggak akan sering-sering minum kopi."

"Pemanis buatan? Nggak bagus."

Butuh waktu lama untuk membuatnya memasukkan kopi ke keranjang belanja dan berkata, "nanti aku aja yang bayar. Sekalian bayar ini."

Aku memang hanya belanja kopi. Sedangkan dia belanja lebih dari 3 atau 4 hal lainnya.

Harusnya aku membeli kopi yang berasal dari biji kopi asli. Tapi di sini tak ada. Apa boleh buat.

Pernah, kami ingin sekali pisang goreng. Pas saat itu sedang di daerah UKI dan di sana ada penjual gorengan. Kami tahu bahwa tenggorokan kami sensitif terhadap minyak yang digunakan berulang kali. Tapi kami terlalu ingin dan sulit mencegahnya. Akhirnya kami nekat membeli gorengan itu, esoknya, kami cengar-cengir berdua karena tenggorokannya sama-sama serak. Kami dipersatukan dengan sensitifitas tenggorokan yang luar biasa.

Perutnya juga sangat sensitif, ia tidak bisa makan makanan yang pedas dan selalu pilih-pilih warung untuk makan dengan pertimbangan kebersihannya. Aku tidak sesensitif itu, masih bisa tahan dengan makanan dari pinggir jalan. Tapi memang beberapa warung terlalu keterlaluan hingga menggunakan sedotan bekas untuk minuman.

Jika kamu masuk ke sebuah warung dengan penataan sedotan yang bercampur warnanya, kemungkinan itu sedotan bekas pelanggan lain. Kalau diteropong ke dalam sedotan itu, akan terlihat titik-titik air dan kadang titik-titiknya bernoda hitam. Dalam hal ini, meneliti sedotan selalu menjadi tugasku. Aku tidak mau dia sakit perut hanya karena hal sepele menyangkut kebersihan sedotan.

Kami sadar bahwa kami harus saling menjaga.

Tidak masalah jika pelarangan ini itu dipertimbangkan atas dasar yang cukup logis, apalagi membawa dampak langsung pada kondisi tubuh. Beberapa bilang hal seperti ini lebay, tapi kondisi badan tiap orang memang berbeda. Aku tak masalah jika dilarang hal-hal yang punya banyak pilihan selain itu. Apalagi jika dia menawarkan solusi yang lebih baik.

Ditambah, jika sejak awal, orang yang melarang itu adalah orang yang memang jelas peduli terhadap kita. Bukan sekedar mencari perhatian. Apalagi hanya untuk berbasa-basi.

Aku memang tipe pemberontak. Tapi aku hanya memberontak hal-hal yang aku anggap menghina akal sehatku. Jika masih ada di jalur berpikir yang benar, aku akan menurut dengan senang hati dan dengan penuh kesadaran. Jika aku pikir ada kekeliruan di dalamnya, sekalipun mengandung risiko yang besar, aku tak segan-segan melakukan pemberontakan. Siapapun orangnya.

Beberapa orang mengatakan, "jangan lupa makan", "Jaga kesehatan", "Jangan terlalu sibuk," "Jangan begadang," atau bertanya sedang berada di mana, sedang beraktivitas apa dan lain-lain hanya karena ia tidak punya topik yang dibicarakan. Aku menolak perhatian semacam ini. Oke. Perhatian itu memang manis untuk beberapa orang, tapi tidak untukku. Tolong cari hal lainnya supaya aku tertarik memperhatikanmu.

Larangan aneh lain saat aku makan dengan seorang teman. Dia menyebut ini kencan, aku menyebutnya makan bareng biasa. Kami berdua memesan Mie Ayam. Saat Mie Ayam datang, aku lekas mengambil sumpit yang masih terbungkus plastik.

Dia bilang, "Jangan pakai sumpit. Bahaya. Sumpit kayak gitu mengandung pemutih."

Aku tak peduli.

Pernah, yang lainnya berkata, "Banu, jangan berteman dengan lelaki. Berteman dengan perempuan saja."

Oh, jadi aku tidak boleh berteman dengan lelaki, tapi kamu sendiri sedang berusaha untuk berteman denganku? Oxymoron memang tak berbatas. Bersikap adil memang susah, terutama terhadap diri sendiri.

Aku lagi-lagi tak peduli.

Larangan kecil yang diberikan soal makanan dan pergaulan saja aku tak peduli, apalagi larangan besar. Seperti hal-hal krusial yang menyangkut pilihan hidupku.

Jangan tersinggung, tapi aku punya otak yang cukup lumayan untuk tahu mana yang baik untukku dan mana yang tidak. Kecuali jika kamu adalah orang terdekatku dan memiliki landasan logis untuk melarangku melakukan sesuatu.

Seringkali, dalam hal-hal seperti ini, melihat siapa yang berbicara jadi penting.

Siapa dia, dimana dia saat kita susah, seperti apa dia ketika tahu kekurangan kita. Seperti apa ketika kita bertengkar. Apa yang dia lakukan untuk meraih kepercayaan kita. Apa perannya untuk kehidupan kita selama ini.

Jika ingin jadi orang penting, harusnya seseorang juga hadir di saat-saat penting. Bukan tiba-tiba saja datang dengan berbagai macam permintaan. 

Kau tak tahu apa-apa tentangku. Kau tak pernah bersamaku untuk menghadapi sesuatu.

Aku tak pintar berbasa-basi. Aku tak bisa berakting menyukai sesuatu padahal aku tak suka. Dengan ini kau harus paham bahwa tak selamanya aku melakukan penolakan. 

Anggaplah, ini adalah sebuah tanda bahwa aku sudah menggaris sebuah lingkaran kecil di sekelilingku untuk tak mengijinkanmu mendekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?