Selasa, 10 November 2015

Agama Orangtua = Agama Anak?

Aku sering bertanya-tanya dalam hati. Apakah sepasang manusia yang sedang berkomitmen untuk menikah dan berencana beranak pinak juga membicarakan bagaimana cara mendidik anaknya kelak? Apakah calon orangtua membaca banyak artikel dan buku-buku sebelum memutuskan bagaimana mendidik anak kelak? Yang lebih spesifik lagi, apakah orangtua pernah memikirkan secara khusus bagaimana cara mendidik anaknya dalam beragama? 

Apakah orangtua memilih untuk mengarahkan anak tentang bagaimana caranya memilih agama/kepercayaan yang dapat membawa hidupnya menjadi manusia yang baik. Atau justru orangtua berharap anak mengikuti agamanya saja tanpa pertanyaan sebagai hadiah yang tidak dapat ditolak? Seperti halnya nama pemberian orangtua, garis keturunan, DNA, dan sebagainya yang bersifat otomatis. Barangkali, ada orangtua yang membebaskan anaknya, terserah ia akan beragama atau tidak sampai anak dewasa karena itu adalah urusannya dengan Tuhannya.

Aku menulis ini sambil tersenyum mengingat adegan film India berjudul PK. Di sana. Ada sebuah adegan yang memperlihatkan si PK sedang memeriksa para bayi yang baru lahir di rumah sakit. Ia penasaran, dimana tanda yang memperlihatkan identitas agamanya? Sayangnya, ia tak menemukan tanda itu. 

Sebagai orang yang terlahir di dalam agama Islam dengan orangtua bermazhab Syiah Imamiyah, aku banyak membaca koleksi buku di rumah. Di salah satu buku parenting yang aku baca saat usiaku 15 tahun tertulis bahwa sebaik-baiknya mendidik anak adalah dengan ilmu dari Al Qur'an. Karena itulah, orangtua menyuruhku mengaji kepada Kyai NU di pemilik pondok pesantren, kata Ibu, "Orang NU itu kalau ngaji Makhrajnya dan Tajwidnya paling bagus." 

Karena tempat ngaji yang terlalu jauh, beberapa waktu kemudian Ibu menyuruhku mengaji ke rumah adiknya kakek yang Muhammadiyah. Sekalipun aku cucunya, di sana aku didik keras dengan bentakan setiap kali salah ucap. Aku takut sekali dengannya. Dari dulu aku tak cocok dididik dengan keras. Lama-lama aku tak tahan dengan cara itu dan berjanji pada ibu akan mengaji di Rumah ustad Muhammadiyah dekat Mushalla sehabis shalat jamaah Maghrib. Ibu setuju. Walau akhirnya toh aku berhenti mengaji padanya setahun kemudian karena sudah mulai dewasa. Anak-anak seusiaku mulai berhenti mengaji pada ustad itu, diganti dengan anak-anak kecil yang lain. Kemudian, aku membuat janji yang lain dengan ibuku. Aku akan mengaji keras-keras di rumah setelah Maghrib. Ibuku hafal beberapa juz Al Qur'an. Makanya, ibu sering menyimak dan mengoreksi bacaan mengajiku sambil bikin kue dan melakukan aktivitas lainnya. Buat yang awam dan termakan propaganda situs intoleran, tentu saja Al Qur'annya Syiah sama dengan Al Qur'annya Sunni. 

Aku yakin bapak dan ibuku tidak sempat berdiskusi tentang bagaimana mereka mendidik anak-anaknya kelak. Dulu bapak dan ibu dijodohkan di sebuah komunitas pengajian Wahabi. Mereka belum bermazhab Syiah ketika bertemu. Bapak maupun Ibuku sudah yakin sekali bahwa mereka satu visi dalam Islam dan pasti sama pandangan soal mendidik anak-anak. Begitu sederhana. Mereka punya kesamaan, sama-sama penggemar majelis ta'lim dan berpikir cukup kritis terhadap agama. Makanya mereka memutuskan untuk hijrah mazhab. 

Namun, tidak semua anak-anaknya punya kebiasaan yang sama. 

Kakak pertamaku belajar dengan cara yang mirip ibuku, tetap Syiah, tapi pandangan kesyiahannya beda dengan ibuku dan beda juga denganku. Kakak keduaku tak begitu tertarik dengan wacana agama. Kakak ketigaku cukup tertarik dengan wacana agama, namun hanya membaca bacaan seputar Syiah saja. Aku sendiri, memulai perjalanan intelektualku dengan buku-buku Syiah di rumah, ikut pengajian tafsir Qur'an, ikut pengajian fiqih, ikut pengajian filsafat. Dari sana mulai membaca banyak buku soal berbagai filsafat yang dikritik oleh filsafat Islam, meminati pemikiran filsafat Perennialisme lebih dari Hikmah Muta'aliyah ala Shadra, tertarik Marxisme, belajar soal agama lain, dan itu semua membentuk pemikiranku yang sekarang. Adikku beda lagi, dia dulunya sempat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren yang bercirikan Wahabi. Kata Ibu, "Wahabi itu bagus dalam hal hafalan Qur'an." Benar, hafalan Qur'an dan bahasa Arab adikku terus meningkat. Setelah masuk ke lembaga pendidikan Syiah, mulai terlihat bahwa dia menyukai hal-hal teologis daripada filosofis. Kami sering berbeda pendapat soal agama, tapi pada akhirnya mengerti bahwa itu bukan sesuatu yang patut diperdebatkan. Dia tahu bahwa kita cara beragama kita adalah soal tanggung jawab pribadi antara kita dengan Tuhan. Adik keenamku masih SMA. Anak gaul dan tentu saja sekuler. Pemikirannya sederhana dan bagiku hal itu sangat menggemaskan. Adik terakhir belum terlihat akan jadi seperti apa, sepertinya dia akan jadi orang Syiah juga karena ada di lembaga pendidikan Syiah. Syiah macam apa juga belum tahu. Siapa yang tahu sih? 

Dari ketujuh bersaudara, jelas orangtua punya pola yang berbeda dalam mendidik anaknya. Seingatku Ibu tak pernah membujuk kakak kedua dan kakak ketiga mengaji seperti saat Ibu menyuruhku mengaji. Kakak Pertama cukup cerdas untuk mendidik dirinya sendiri sesuai dengan hal yang ibu senangi. Ibu mendidik ketiga adik lelakiku dengan keras juga soal mengaji. Tapi adik keenamku yang pintar merayu sering memanfaatkan keinginan Ibu untuk mendengar anaknya mengaji demi duit. Misalnya dia telepon Ibu, "Bu... Aku nggak punya duit, transferin aku... Aku ngaji deh... Nih aku ngaji. Bismillahirrahman... nirrahimmm..." Lalu dia akan merapalkan beberapa surat dalam Juz Amma yang dihafalnya. Ibu yang berada jauh dari kota adikku akan senang mendengar suara ngajinya. Dengan perasaan tidak tega juga, biasanya ibu akan mentransfer uang untuk adikku. Transaksi selesai. Semua senang.

Dari tadi aku berbicara soal peran ibuku, bagaimana dengan Bapak? 

Jadi begini, sedari kecil, bapakku terbiasa mandiri dengan mencari pengetahuan sendiri dan punya etos belajar yang bagus. Jadi dia berharap anaknya juga akan menemukan jalannya sendiri sebagaimana dia. Jarang sekali Bapak berdebat soal agama dengan anak-anaknya. Sedangkan Ibuku, selalu menyisipkan topik agama di setiap pembicaraan. Cara mereka mendidik pada akhirnya berbeda. Begitulah pernikahan, berisi kumpulan individu yang bersama-sama untuk menyatukan darah, tapi bukan berarti juga punya keterikatan pikiran. 

Ibu tak setuju dengan caraku beragama dan caraku berpikir. Tapi dia mencintaiku. Ibu bilang dia selalu mendoakanku setelah sholat, bahkan lebih dari yang lainnya. Aku juga mencintai Ibu. Tapi bagaimanapun, aku punya konsekuensi logis pengetahuan yang membentuk caraku berpikir dan aku minta maaf jika ternyata kita berbeda. Karena aku bukan orang yang pintar berpura-pura sama dengan siapapun agar lebih dicintai, maka aku tidak tahu bagaimana caranya menyembunyikan perbedaan ini. Barangkali akulah yang kurang bijaksana. Tapi, entahlah. Aku juga penasaran kemana perjalanan ini akan bermuara.

Dari pengalaman pribadi menjadi anak kedua orangtuaku, akhirnya aku paham, seperti apapun modal pengetahuan agama yang dimiliki oleh orangtua, belum tentu anak akan seperti dia. Tak masalah juga jika kelak anakku punya pemikiran yang beda denganku. Aku belajar merayakan perbedaan sejak dini.

Aku pernah mendengar pemilik kontrakanku mengelus kepala anaknya yang masih umur 3 tahun. Dia dan suami mendiskusikan akan les apa anaknya nanti. Ibunya ingin anaknya les ngaji, silat, robotic. Bapaknya ingin anaknya les wayangan, bahasa daerah, dan nembang. Mereka sepakat untuk mendaftarkan anaknya ke semua les tersebut. Walau bapaknya sering mabuk, ia senang juga lihat anaknya mengaji. Anak ini tumbuh dengan serangkaian kegiatan yang tak pernah berhasil dicapai orangtuanya ketika masih kecil. Berapa dari kita yang membesarkan anak kita dengan cara seperti itu?

Sumber Gambar

Dari fenomena yang aku amati, aku pikir pada akhirnya anak akan menemukan jalannya sendiri. Sekalipun orangtua sering berdoa semoga kelak anaknya bisa jadi anak yang patuh pada orangtua dan berguna untuk agamanya.

Ada orangtua yang mendidik anaknya dengan serangkaian pelajaran agama dari pesantren. Saat dewasa, anak tersebut pada akhirnya memilih jadi seorang sekuler liberal. Ia kritisi banyak teks yang ia pelajari di pesantren dulu dan tak segan menyebutnya sebagai dogma belaka. Ia kritik cara mayoritas dalam beragama. Ia keluhkan betapa membosankannya kelompok agama tertentu yang baginya tidak rasional, fanatik, kurang punya nilai kemanusiaan universal, dan sebagainya.

Ada orangtua yang sejak dini mendidik anaknya untuk rajin mengikuti misa dan berbagai kegiatan di gereja, siapa sangka saat dewasa dia justru tumbuh sebagai orang yang apatis dan sinis terhadap gereja. Ia mulai tak percaya dengan para pastur. Ia mulai bosan janji gerejawi.

Ada orangtua yang mendidik anaknya dengan santai tanpa kecenderungan agama tertentu. Ternyata, di masa dewasanya, anak tersebut justru ikut gerakan radikal dan tak segan berkata bahwa orangtuanya itu masih jahiliyah.

Ada anak yang selalu rajin sembahyang mengaji bersama orangtuanya. Ketika akhirnya mengalami masa merantau, ia lama-lama merasa malas untuk melakukan ritual tersebut. Namun, untuk menjaga hati orangtuanya, ketika ia pulang ke rumah nantinya, ia akan kembali jadi anak patuh kepada orangtua dan agama. Orangtua bangga dan bersyukur punya anak yang sesuai harapannya. Anak ini pun aman di balik topengnya. 

Seorang kawan bahkan mengajarkan anak-anaknya dengan agama yang berbeda. Hasilnya, dengan pilihannya sendiri, anak-anaknya memeluk 3 agama yang berbeda. Orangtuanya begitu bangga anaknya bisa memilih agama yang mengantarkannya ke jalan kebaikannya sendiri. Dia bilang, "Kelak, mereka akan membela agama saudaranya jika ada yang terdiskriminasi atas nama agama. Kemanusiaan haruslah melampaui agama."

Ada pula orangtua yang memiliki anak dengan agama yang seperti pendahulu sebelumnya. Tanpa pertanyaan, tanpa banyak perbandingan. Yang ia tahu, orangtuanya bilang bahwa agama merekalah yang paling benar. Itu sudah cukup untuk menjadi bekal dari awal kehidupan sampai kematian. Jika sudah memegang agama yang paling benar, untuk apa mencari-cari yang lain?

Orangtua -yang menurut standar masyarakat- telah berhasil mendidik anaknya juga banyak. Anak terlihat jelas telah mewarisi kealiman orangtuanya. Tanpa banyak percekcokan dan pemberontakan. Anak tumbuh sesuai dengan harapan orangtua. Konon itu berkat doa-doa orangtua. Atau faktor lain. Aku tak tau. Bahkan tak bisa membayangkan ada anak yang pemikirannya dicetak sama persis dengan orangtuanya. Aku kenal dengan teman yang seperti ini. Dia bilang, "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Lha kamu kira aku harus mirip pemikiran siapa?" Entahlah ya.

Kisah-kisah yang memuat tentang orangtua yang sedih karena merasa tak dapat mendidik anaknya banyak. Ada kekhawatiran bahwa ia nantinya tak bisa bersama-sama dengan anaknya di surga. Betapa kecewanya orangtua yang tak bisa memiliki anak patuh terhadap orangtua. Di sisi lainnya, ada kisah-kisah yang berisi kebanggaan orangtua dengan pencapaian anaknya. Beberapa orangtua berharap anak dapat menjadi sesuatu yang tidak pernah bisa dicapainya saat masih muda. 

Beberapa lagi berharap, sekalipun dia bukanlah orang beragama yang baik, dengan memilih pasangan yang lebih alim darinya atau menyekolahkan anak ke sekolah agama, maka otomatis ia akan punya anak-anak religius yang kelak dapat menebus dosa orangtuanya dengan doa-doa.

Saat anak lahir, orangtua sering memberikan cap agama tertentu. Seolah agama adalah sesuatu yang mesti diterima begitu saja oleh anak sampai kematiannya kelak. 

Aku pernah mendiskusikan dengan sahabat perempuanku soal ini. Sambil tersenyum geli, dia bilang, "Ah, kalaupun suatu hari nikah, aku mah nggak mau punya anak. Melahirkan itu sakit kayaknya. Lagian dunia udah over populated. Kasian anak yang lahir di saat bumi udah rusak gini. Mending ngadopsi anak yang udah terlanjur lahir di dunia. Atau mendingan melihara anjing atau kucing. Hehehe..." 

See? Nggak semua orang menilai bahwa punya anak adalah ide yang bagus kan? Sebagai orang yang biasa mendengar perdebatan antara kaum Pro Choice dengan kaum Pro life, aku tidak kaget sih mendengar ada orang yang bahkan tidak ingin punya anak dan pro terhadap aborsi. Bahkan Richard Stallman -founder GNU- juga menolak untuk punya anak dan menyarankan orang-orang untuk tidak perlu punya anak demi kemanusiaan. Soal pandangan dia, bisa dibaca di artikel Why is it Important not to have Children.

Aku penasaran ingin bertanya lagi. Pernahkah ada yang memutuskan untuk tidak jadi menikah dengan calonnya setelah tahu bahwa ternyata kalian tak sepakat dengan cara mendidik anak? Ya siapa tau ya ada yang apes ngalamin. 

Jadi, cara kamu mendidik anak nanti gimana? Udah dipikirin?

4 komentar:

  1. aku minta ijin untuk membagikan tulisan ini ya..

    BalasHapus
  2. pemikiran yang unik, menarik, sekaligus intriguing :-) aku ikut merasakan kegelisahanmu. adikku juga ga mau punya anak, alasannya persis seperti yang ditulis di atas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Secara batin, jika menikah nanti, aku juga ingin punya anak. Tapi kan aku belum jalani tes kesuburan, jadi nggak tau nanti bakal punya anak apa nggak. Hihi

      Tapi, aku sangat hargai mereka yang tak ingin punya anak. Aku juga bersimpati kepada mereka uang berusaha keras untuk punya anak tapi tak juga diberi.

      Susahnya sih sama orang yang anggap punya anak adalah prestasi. Soalnya bagiku saat anak jadi dirinya sendiri yang bisa berguna buat orang lain itulah prestasi orang tuanya. Jadi prestasi itu bukan sekedar hadirnya anak tersebut di dunia gitu.

      Hapus

Komentar Kamu?