Sabtu, 05 Agustus 2017

Cita-Cita

Aku pernah punya cita-cita. Tapi butuh waktu panjang untuk tahu bahwa cita-citaku terlalu kecil.

Saat masih usia di bawah 10 tahun, aku bercita-cita jadi penjual roti. Penjual roti di sini bukan a la Holland Bakery maupun merk terkenal lain. Tapi penjual roti Putri yang berjualan di jalanan macet Bekasi-Jakarta.

Jadi, saat SD kelas 2 di Bekasi, aku sempat putus sekolah. Bapak dan ibu ikut komunitas agama dengan ada Nabi di dalamnya. Ajaran Nabi saat itu, anak-anak yang sekolah itu bagaikan diceburkan orangtuanya ke comberan. Tak hanya itu, semua orang dewasa yang awalnya punya pekerjaan tetap di berbagai kantor juga berganti haluan kerja sebagai tukang roti. Ada yang ngasong di jalan, dan ada yang produksi. Merk rotinya saat itu adalah Roti Putri.

Para ibu bersama-sama membuat dapur umum untuk makan bersama karena semua penghasilan diatur berdasarkan managerial sang Nabi. Karena ketaatan akan risalahnya, orangtuaku termasuk satu dari ratusan jamaahnya saat itu.

Saat ditanya soal masa depan dan cita-cita, karena doktrin dan lingkungan sekitar, aku menjawab, "jualan roti Putri."



Tidak ada bayangan bahwa aku akan sekolah lagi. Tidak ada bayangan bahwa suatu hari ibu keluar (menurut beberapa versi jamaah lain: dikeluarkan oleh Nabi) dari komunitas itu dan aku harus ke Boyolali untuk melanjutkan sekolah kelas 2 ku dari awal yang sempat terpotong. Tak bisa dibayangkan betapa ributnya keluarga besar kami dalam menanggapi putusnya sekolah kami dan kembalinya kami ke sekolah.

Karena dari keluarga miskin, dengan kakak yang DO kuliah, aku tak pernah membayangkan akan kuliah. Uang dari mana?

Akhirnya, saat SMA, aku punya dua pekerjaan impian: yang pertama adalah penjaga toko CD/DVD, dan yang kedua adalah penjaga warnet.

Alasan yang pertama adalah, aku ingin bisa nonton film gratis. Aku suka sekali film. Tapi aku tak punya TV di rumah maupun CD/DVD player. Sehingga aku kerap menonton film di warnet. Aku juga senang sekali mengoleksi poster film sekalipun tak memajangnya. Aku punya poster film Harry Potter besar sekali hadiah dari majalah Cinemagz, tapi tak pernah aku pasang di dinding karena takut rusak. Sebagai orang yang rumahnya masih ngontrak dan pindah-pindah, menempel dan melepas poster kesayangan hanya akan menyakiti poster itu.

Jadi, akhirnya lepas SMA, di saat teman-teman seangkatan menikah maupun kuliah, aku mendaftar kerja sebagai penjaga rental CD/DVD. Aku akan senang mengagumi beberapa cover CD/DVD yang terpajang dan menebak-nebak isinya. Selain itu, tempat berAC akan membebaskan diriku yang tersiksa dengan panasnya udara Solo saat itu.

Suatu hari aku diberi hadiah PC dari seseorang yang kenal di Friendster. Jadi, aku sering membawa pulang CD dan menontonnya di rumah usai kerja.

Pekerjaan itu ternyata tak menyenangkan yang aku bayangkan. Jam kerja mulai pukul 8 pagi, dan berakhir pukul 10 malam. Sebagian besarnya berdiri dan harus menata wadah film ke rak sesuai tempatnya lagi. Apalagi, aku tak kunjung hafal tempat film yang dimaksud. Jadi aku selalu berputar-putar dari rak satu ke rak yang lain untuk menemukan tempatnya. Masalah utama juga, karena baru pulang jam 10 malam, angkutan umum habis dan aku harus merepotkan orang rumah untuk minta jemput. Saat itu belum punya HP. Jadi kalau orang rumah telat jemput, aku hanya bisa pasrah menunggu sampai jam 23.00-23.30.

Ini pekerjaan yang aku pilih. Tapi aku harus merepotkan keluarga untuk sekedar pulang.

Aku akhirnya memutuskan untuk resign.

Aku tak pernah mendaftar jadi penjaga warnet karena kesempatan itu memang tak pernah datang. Aku rasa menjaga warnet itu enak. Duduk di ruang AC sambil main internet sepuasnya, tapi dibayar. Aku mulai suka dengan segala sesuatu di internet berkat Yahoo Messenger dan Friendster. Membayangkan bisa membuat layout friendster sendiri dengan waktu tak terbatas itu benar-benar menggiurkan bagi remaja sepertiku.

Aku hanya bisa jadi user warnet dan menonton film yang sudah didownload oleh si penjaga warnet. Aku punya Flash disk 4 GB saat itu. Sehingga film yang dikopas bisa ditonton juga di rumah,

Pekerjaanku usai SMA sama seperti pekerjaanku saat masih SD. Memproduksi boneka gantungan kunci di rumah dan dijual di berbagai pasar kaget secara kaki lima. Saat SMA sih aku biasa jualan di pasar malam, dan pada hari minggu pagi aku akan jualan lesehan di Manahan Solo.

Tak seperti kakakku yang lain, aku tak pernah punya cita-cita membesarkan usaha keluarga ini. Karena aku merasa toh aku tak pernah punya uang juga kalau ikut managemen keluarga. Keuntungan penjualan yang kembang kempis akan habis untuk makan kami bertujuh. Saat itu bapak juga pengangguran.

Hidup itu berat. Aku mulai merasa bahwa kayaknya aku tak punya masa depan. Kakak pertamaku memang berhasil jadi sarjana Sastra di UNS. Tapi dia menikah di pertengahan semester dan kuliahnya dibantu sepenuhnya oleh suami yang juga masih mahasiswa jurusan FKIP Fisika saat itu. Kakak pertamaku wisuda dengan anak di gendongannya.

Aku bertanya-tanya, untuk bisa kuliah, apakah aku harus menikah juga?.

Tapi aku mengubur pikiran seperti itu. Aku terlalu muda untuk menikah. 18 tahun itu muda sekali kan..

Di hari biasa, aku akan jualan di pasar malam. Berangkat jam 4 sore, dan pulang jam 00.00-01.00 pagi. Siangnya aku pakai untuk produksi boneka bersama keluarga. Di hari minggu pagi, jualan di stadion Manahan Solo masih jalan terus. Bedanya, aku sempat membantu tetangga sesama penjual untuk menjaga dagangan celana dalam dan bra dengan upah Rp 20.000 dari jam 6 sampai jam 12 siang.

Aktivitas itu sangat membosankan untuk dijalani seorang remaja sepertiku. Aku yang suka sekali baca buku sejarah, filsafat, politik, sastra, dan fiksi lain bosan sekali berbincang dengan teman-teman yang topik pembicaraannya soal pasar malam dan omzet. Aku mengalami kebosanan yang sangat dan menelenggamkan diri lebih dalam ke buku-buku. Sayangnya, karena tidak ada teman diskusi, aku jadi merasa tambah gila.

Suatu haru, berita itu datang juga. Kesempatan kuliah gratis di Paramadina karena ibuku adalah korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok 84. Rupanya, ada kerjasama Paramadina Social Responsibility antara KontraS dengan Paramadina. Daftarlah aku di sana jurusan TI.

Aku pikir TI adalah Teknologi Informasi. Hal yang sering dibilang petugas warnet kenalanku bahwa dunia TI itu asik sekali. Bahkan dia bisa hack akun-akun tertentu dan mengajari aku caranya. Karena dalam hal internet aku juga lebih jago dibanding teman-teman SMA, aku pikir aku memang ada minat dan bakat di sana.

Bermodal nekat, aku daftar ke Paramadina.

Nanti tinggalnya di mana? Makan apa? Biaya hidup gimana?

Kata bapak, nanti bapak yang akan usahakan.

Aku percaya pada bapak. Sekalipun bapak tak pernah mengusahakan soal sekolahku sebelumnya. Saat SD, SMP, SMA, aku hampir tak pernah bayar sekolah karena tidak mampu. Sekolah sudah beri beasiswa yang tidak penuh, tapi aku tetap tidak bisa membayar sisanya. Aku tak pernah terima rapot, dan saat SD tak punya seragam. Bapak tahu itu, tapi bapak tidak bisa berbuat apapun karena dia juga tak kerja.

Bapak hidup dari politisi satu ke politisi lain. Kenalan bapak memang luar biasa, banyak politisi yang hanya kita lihat di TV ternyata kenal bapakku. Tapi bapak tak punya jabatan politik apa-apa. Bapak orang yang suka diskusi politik dan numpang tidur di kantor sekretariat. Aku pikir walau berapapun uang yang ditransfer bapak, bapak adalah sosok hebat karena bisa kenal dengan orang-orang terkenal. Tapi aku baru tahu belakangan bahwa ternyata bapak semacam tukang yang suka disuruh bikin kopi, foto copy, dan ke sana-kemari.

Dari sana, kadang bapak diberi uang receh dan itu yang dikirimkan ke kami. Kadang 100 ribu per bulan, kadang 200 ribu. Anak-anaknya terlalu banyak sehingga uang berapapun yang dia kirim selalu hanya cukup untuk makan.

Jadi, aku menantang diriku sendiri untuk percaya bahwa bapak akan cari jalan supaya aku bisa kuliah.

Jakarta!


Hari awal di Jakarta, aku mendapatkan pekerjaan yang aku cita-citakan sewaktu kecil. Jualan roti di pinggir jalan. Upahku perbungkus roti adalah 300 rupiah. Rata-rata dalam sehari terjual 20 pc. Aku diberi upah segitu karena aku numpang makan sama juragan roti yang sebenarnya masih saudara sendiri. Jadi, aku cari uang saku lewat situ sambil melengkapi semua persyaratan beasiswa.

Saat tes beasiswa, aku baru tahu kalau TI adalah Teknik Informatika. Bukan Teknologi Informasi.

Aku juga baru tahu bahwa aku akan berhadapan dengan matematika, bukan sekedar kode-kode dalam layout Friendster yang selama ini aku akrabi.

Aku juga baru tahu bahwa mahasiswa itu harus punya laptop sendiri. Karena laboratorium komputer di kampus hanya buka sampai jam 5 sore dan itu pun tak semua available.

Aku memang diterima jadi mahasiswa TI, tapi aku tak yakin akan bertahan. Aku mulai ketakutan, apalagi saat aku harus tinggal di rumah orang kaya di Kemang yang mewajibkan jam 6 sore sudah harus di rumah tak peduli apakah jalanan macet maupun tak dapat angkot. Apalagi uang saku yang diberi jauh di bawah standar yang hanya cukup untuk naik angkot PP tanpa bisa makan siang. Di rumah pun, aku sering mengepel, bersih-bersih pantry, dan kamar mandi dalam keadaan super lapar. Kadang ada mie di dapur yang bisa dimasak. Tapi aku tahu bahwa aku akanberhadapan dengan banyak penyakit nantinya jika makan terlalu banyak mie.

Aku mulai merasa gamang. Aku punya cita-cita sederhana yang lain saat putus asa tak bisa kerjakan tugas karna tak punya alat dan tak bisa belajar karena tak punya buku.

Aku ingin jadi costumer service yang kerjanya hadapi manusia, bukan menghadapi komputer karena aku tak becus pakai komputer. Setidaknya, costumer service kerja di ruang AC dan hanya bicara di telepon saja. Jadi orang tak perlu menilai penampilanku yang cupu karena bajuku memang jelek.

Bahkan, sebagai mahasiswa TI, saking tak pernah pegang laptop, aku tak tahu bagaimana cara menyambungkan laptop ke berbagai bentuk intenet dan tak bisa hafal tuts keyboard. Aku serba gagap dan dunia tampak menakutkan bagiku.

Aku tahu bahwa aku tak bisa pertahankan beasiswa. Aku akan dikeluarkan dari daftar penerima beasiswa. Kalau tak ada uang saku, aku tak bisa berangkat kuliah. Kalau ada tugas, aku tak bisa kerjakan. Dipinjami laptop oleh teman sebentar pun tetap tak akan bisa mengerjakannya karena terlanjur ketinggalan jauh.

Aku putus asa. Tapi aku tak tahu kalau itu yang namanya depresi. Aku mulai susah tidur, tak ada harapan, dan tak punya cita-cita.

Tapi ada orang baik yang ingin aku kuliah lagi. Aku menganggapnya kakak angkat. Dia membayariku lanjut kuliah dengan jurusan yang paling murah di Paramadina: Falsafah dan Agama.

Ini cukup nyambung dengan bacaanku selama ini. Aku suka. Tapi kebohongan si kakak angkat soal status pernikahan dan segala macam menyangkut keluarganya terbongkar. Dia pergi dan aku kembali terlunta-lunta.

Aku bekerja freelance di sana sini untuk hidup dan bayar kost hingga kadang tak bisa datang ke kelas karena kecapekan. Aku masih tak punya laptop untuk mengetik paper tugas. Kalau ada tugas, aku mengetiknya di warnet bersama dengan anak-anak SD yang main game online. Berisik dan ada bau rokok di mana-mana. Tapi tetap harus dijalani.

Demi apa? Demi kuliah.

Aku pernah ingin keliling dunia seperti generasi milenial lain. Setidaknya aku pernah mewujudkannya walau cuma ke Kuala Lumpur dan Iran. Itu pun tanpa biaya sama sekali.

Saat itu aku sudah punya laptop berkat bantuan kakak ipar dengan pembayaran dicicil. Lumayan, bisa bikin paper dan mulai menulis. Termasuk memulai rutin ngeblog.

Tapi kesulitan hidup, ideologi yang berubah, berbagai cinta yang menyakitkan, pertemuan dengan orang-orang hebat, membawaku ke sini. Sampai pada titik yang sekarang ini.

Sakit mental dan turunannya


Kalau beberapa orang bilang, aku adalah orang kuat, ah... tidak juga kok.

Hidup yang berat dan segala macam peristiwanya yang luar biasa keji membuatku kena PTSD. Saat ini PTSD nya tidak sekuat dulu karena satu tahun terakhir aku terapi psikologis di Yayasan Pulih. tapi aku masih punya depresi yang seringkali kumat dan anehnya kadang tak ada sebabnya. Hanya perasaan bosan, hampa, capek hidup, dan sedih yang terus menerus mengejarku.

Aku kelelahan. Bahkan di hari aku menulis blog ini pun, rasanya aku sudah terlalu capek menangis. Aku merasa tak paham apa itu bahagia sekalipun sudah didefinisikan di banyak buku filsafat.

Yang aku pahami, bahagia adalah keadaan, bukan definisi. Jika konon kita sendiri yang memilih kebahagiaan, bagaimana jika otakmu rusak dan amygdala serta partikel lain di dalamnya tidak mendukung perasaan bahagia itu timbul?

Aku dulu mungkin kuat. Dan kekuatanku habis di masa lalu. Sekarang, aku tak punya apapun atau pun siapapun. Maksudku,orang-orang yang berada di sebelahku, memeluk ketika aku mimpi buruk dan ketakutan.

Aku sering kewalahan kerja karna otakku memang susah diajak konsentrasi. Kuliah belum lulus dan berantakan. Keluarga ya masi gitu-gitu aja, aku merasa wajib mensupport sekolah adik-adik dan mentransfer uang untuk ibuku yang cacat.

Jika aku sendiri yang sakit, aku tak punya asuransi apapun untuk membayar biaya rumah sakit dan aku tak punya seorang pun yang akan menemaniku. Aku kesepian dan merasa sendirian. Kalau ada teman bilang dia akan membantu, aku malah merasa jadi benalu yang merepotkan orang.

Pernah ada hari-hari di mana aku benar-benar tak bisa keluar kamar kostan, tak punya rasa lapar, dan tak bisa bangkit dari kasur. Temanku yang mengirimkan go-food dan makanan lain. Saat itu, aku baru tahu bahwa begitulah kinerja PTSD maupun depresi saat menyerang kita. Jadi lumpuh dan tanpa harapan hidup. Orang yang tak pernah mengalaminya tak akan tahu bagaimana mencekamnya hidup sendirian dalam kondisi seperti itu.

Bisa dibilang, aku tak punya ambisi maupun cita-cita lagi. Hidup bagiku hanya menunda kematian yang setiap harinya terbayang di kepalaku. Aku sering berpikir bahwa belum tentu besok aku masih hidup...

Bagaimana jika suara di dalam kepala yang sering memintaku mengakhiri rasa sakit ini menang dan tiba-tiba saaja aku melompat ke rel kereta maupun menenggak cairan pembersih toilet di kamar mandi? Kayaknya enak kalau di jalan ini, ada truk besar menyambarku dan aku mati seketika.


Jatuh cinta


Beberapa bulan belakangan, aku punya keinginan bodoh. Akhirnya aku punya sesuatu yang ingin aku lakukan di masa depan. Aku tak ingin menyebutnya sebagai cita-cita. Karena orang biasa mengaitkan itu dengan profesi.

Ini bukanlah sebuah profesi. Tapi, ini berawal dari perasaan jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada seseorang dengan banyak bakat yang aku kagumi dan aku jadi punya alasan untuk hidup. Bahkan saat memperhatikan mata, hidung, dan segala macam potensi di dalam dirinya, aku membayangkan akan punya anak-anak dari orang genius ini.

Aku suka caranya membicarakan musik, film, sastra. Pengetahuannya luar biasa. Aku menikmati caranya bertanya berbagai pertanyaan polos yang kadang aku pikir 'masak nggak tahu sih?'.

Aku rasa, aku makin mencintainya karena dia juga punya keluarga suportif yang sangat baik dan menerimaku. Rasanya semuanya bagaikan mimpi sampai-sampai aku bertanya pada kesedihan di dalam kepalaku, "kamu sudah benar-benar pergi kan?Apakah aku sudah berhak bahagia? Apakah aku sudah pantas mendapatkan ini semua?"

Aku mencintainya dan agak malu-malu mengakui bahwa dia adalah alasanku untuk hidup dan punya keinginan di masa depan. Dia adalah tempat di mana aku bersembunyi dari rasa cemas tentang segala sesuatu dan penghiburku ketika depresi itu datang lagi. Yang aku beri kepadanya memang tak banyak, tapi itu adalah semua yang aku punya.

Kata temanku, kita tak boleh bersandar ke orang. Bagaimanapun, aku harus punya keyakinan dengan diriku sendiri bahwa aku mampu berdaya sendiri.

Orang yang aku cintai bilang, aku tak boleh memperlakukan dia sebaik itu. Dia bilang dia sering malu karena aku baik padanya sedang dia sendiri merasa kurang perhatian padaku. Memang sih, dia orang yang super sibuk. Asal dia tetap bersamaku, sekalipun sesekali aku komplain karna kita jarang bertemu, aku tetap mencintainya. Aku fans pertamanya dalam banyak hal.

Aku senang sekali melakukan apapun untuknya. Rasanya, berada di dekatnya membuatku makin punya banyak alasan untuk bisa sembuh dari trauma dan depresiku.

Aku tak bisa menyuruh otakku mencari motivasi hidup yang lain. Kalau bisa, I'll bleed for him. 

Dia adalah orang yang aku banggakan dan jadi duniaku. Kalau kamu melihat drama Korea Fight For My Way, aku nyaris seperti Sul Hae yang punya cita-cita sederhana jadi ibu dengan anak-anak bersama dengan kekasihnya.

Aku menikmati saat-saat menunggunya turun dari kereta. Jika dia bilang kalau dia tidak ingin aku menungguinya di stasiun, aku akan menurutinya.

Kadang, aku memang diam-diam datang dan aku baru bilang ke dia kalau aku menunggunya di stasiun pada pukul 11 malam hanya demi bertemu dengannya 5 menit. Aku janji kalau aku tak akan memintanya untuk mengantarku pulang. Masa-masa melihatnya di stasiun selalu mengingatkan aku pada pertemuan pertama kami yang menyenangkan. Melihatnya adalah asupan energi untuk melanjutkan hidup keesokan harinya.

Bagi feminis, hal ini sebenernya memang menye-menye, makanya aku sendiri malu mengakuinya. Tapi kekuatanku untuk melanjutkan hidup hanya bisa dengan alasan itu. Sekeras apapun aku mencoba mencarinya.

Drop


Kesialan dan kesedihan masih mengawasiku. Beberapa kali hal mengecewakan datang. Rasanya duniaku runtuh. Aku sudah lelah bertahan hidup kemarin-kemarin, kini aku mulai kehilangan kekuatanku.

Aku merasa tak bisa melakukan apapun lagi. Rasanya setiap hari nafasku sesak, kepalaku sakit bukan main dan aku mulai sering demam. terutama, aku kurang bisa mengontrol rasa kesepian dan air mataku tumpah hampir setiap hari tanpa direncanakan.

Kata orang, cara untuk bersyukur dalam hidup adalah mengingat mereka yang sedang berjuang demi kehidupan. Mereka yang sakit. Mereka yang ada di peperangan.

Tapi bagiku, kalau bisa, aku mau memberikan nyawaku kapan saja kepada mereka yang masih punya mimpi dan optimisme dalam hidup. Silakan saja ambil jantung, mata, ginjal, hati, dan apapun dari tubuhku yang berguna untuk memperpanjang kehidupan orang lain.

Aku sudah mati dari dulu, fisikku rasanya juga sudah mulai 'lumpuh' satu-satu.

Kebahagiaan memang bukan milik semua orang.

... dan aku lelah sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Kamu?