Senin, 19 November 2018

Tentang Hal yang tak Sesuai Kenyataan

Suatu hari, dalam salah satu sesi konseling psikologi, terapis ku bilang bahwa aku adalah seorang yang perfeksionis. Ekspektasiku terhadap diri sendiri kelewat tinggi sehingga aku tak berani melangkah ke tempat yang belum pasti. Aku tak ingin menjalin hubungan yang tak pasti. Aku tak ingin ikut undian dan enggan dengan segala macam hal yang punya risiko gagal.

Aku memang tak selalu berada di zona nyaman. Namun, aku selalu menolak jika harus berkompetisi dalam segala macam persoalan. Aku tak tertekan jika ternyata bukan jadi yang pertama dan terbaik dalam satu bidang karena aku menyadari betul kemampuanku yang serba pas-pasan dengan "survival mode" maksimal yang biasa saja. Tapi aku jelas akan sangat kecewa jika kalah dalam sebuah kompetisi tertentu atau berada dalam situasi gagal.

Itu yang membuatku punya prinsip, "lebih baik tak mencoba/tak mengerjakan jika hasilnya tak akan memuaskan.

Aku adalah orang yang nyaris tak pernah melamar kerja. Semua pekerjaan yang pernah datang padaku adalah hasil dari berbagai koneksi yang aku punya. Tawaran selalu datang tanpa tes yang rumit, tanpa surat lamaran kerja, dan jaminan diterima. Setiap orang yang merekrutku menganggap aku punya potensi lebih sehingga mereka mempercayakan pekerjaan ini dan itu padaku. Aku menerimanya karena aku tak harus terlalu keras berusaha. Bukan berarti aku tak mau bekerja keras. Namun rutinitas pekerjaan sering membuatku lelah jiwa dan raga.

Aku terlalu lelah hingga ada hari-hari di mana aku tak bisa bangun dari tempat tidur tanpa ada alasan yang jelas. Bukan malas, tapi seluruh energiku menguap entah kemana begitu aku membukan mata.

Beberapa orang menyemangatiku dengan bilang bahwa karyaku bagus. Dalam beberapa kesempatan, aku memang melaksanakan tugas dengan baik. Penilaian orang lain membawa dampak positif bagiku. Ada bara api yang menyala di dadaku yang kering. Aku bisa sangat semangat setelahnya. Tapi tak mampu mempertahankan nyala itu. Bisa saja, setelah rentetan peristiwa menyenangkan, kondisiku turun lagi dan membuatku mimpi buruk setelahnya. Saat terbangun, aku tak bisa menghentikan air mata mengalir.

Aku harus mengakui bahwa aku kepayahan menghadapi dementor-dementor yang terus menghantuiku. Harus ada tangan-tangan yang membantuku bangun dari tempat tidur. Harus ada obat yang serupa patronous agar dementor-dementor itu terusir. Hingga kini, dunia ideal di mana aku harus rajin berobat dan dunia kenyataan di mana aku terlalu lelah untuk melakukan apapun terus menerus hadir. Aku lelah mendamaikan mereka. Jadi, ekspektasi-ekspektasi pribadiku makin lama makin menggerus habis kenyataan yang mesti dihadapi.

Bayangkan jika kamu tahu bagaimana cara mengerjakan sesuatu dengan baik tapi tubuhmu tak dapat bergerak?

Mentalku memang tak sekuat kisah-kisah inspiratif yang viral. Aku sudah terlalu lelah. Bukan soal punya masalah atau tidak, penyakit ini adalah masalah terbesarku yang mengundang berbagai masalah lain. Bertumpuk. Makin tinggi... Makin tinggi... Sedangkan kemampuanku dalam menyelesaikan satu persatu hal yang perlu diselesaikan makin hari makin berkurang. Segalanya serba tak karuan.

Aku gagal mengenal diriku sendiri. Segala macam deskripsi yang dulunya milikku kini terkubur dalam kepayahan-kepayahan yang makin mencekikku. Masa muda penuh kerja keras, perlahan mengabur dalam sepotong kenangan. Potensi-potensiku yang dulunya sempat kugenggam lepas satu persatu.

Setiap hari, mataku memandang bayangan di cermin dan bertanya-tanya siapa perempuan berwajah sedih yang di dalam kepalanya penuh rekayasa tentang kematian ini? Harapannya begitu pendek, keluhannya begitu panjang. Kemana gadis muda yang dulu begitu ceria dan semangat? Mana penulis ambisius yang karyanya kini jadi debu?

Dalam dunia yang ideal, seseorang harus mampu menyembuhkan lukanya sendiri, berdiri di kaki sendiri, dan memegang prinsip-prinsip tertentu untuk bertahan hidup. Namun, jika keinginan untuk bertahan hidup itu kandas, luka yang timbul makin membusuk, kaki yang menobang tubuh sudah terlalu pincang, dan beberapa prinsip tak mampu dijalankan, kemanakah larinya jiwa dan raga yang malang ini nantinya?

Jika keputusasaan ini kelak tempatnya ada di neraka, bukankah keputusasaan itu sudah terasa seperti neraka?

PS:
Tulisan ini terbit tanpa dibaca ulang penulisnya semata-mata agar penulis tak mengurungkan niatnya untuk tak menulis apa-apa di blog menyedihkannya ini.

Senin, 16 Juli 2018

Setelah Gaduh

Dunia kita mendadak gaduh. Telinga kita penuh oleh tanya dan tuduhan-tuduhan. Sementara kepala juga terlalu sesak dengan suara-suara kebencian. Kau yang sengaja begitu, atau aku yang memang membuatmu begitu. Kita berdua saling tikam, lalu menimbang-nimbang darah yang tercecer dari luka itu.

Kita mungkin jadi dua orang yang saling menyesalkan hal yang sudah-sudah. Kau bilang urat malumu hampir putus, aku bilang urat nadiku yang putus. Kita sudah berusaha untuk saling membalut luka. Menghangatkan gigil dalam dekap ibu, menguatkan kepala dalam belaian lembut ayah. Kita berdua kalah oleh keadaan. Aku yang bertahan hidup dengan obat, kau yang mencoba selamat dengan infus di tangan. Kita berdua pesakitan yang sama sekali tidak baik-baik saja.

Aku pikir, babak belur kali ini adalah sebuah tanda babak selanjutnya. Tapi ternyata itu hanya berlaku padamu. Kau selalu kuat dan indah dengan semua daya hidup yang selalu membuatku mencintaimu dengan sangat, berkali-kali. Sedangkan aku terus tersengal-sengal di jurang kematian. Aku masih takut untuk terjun, tapi terlalu enggan terus berada di puncak keputus-asaan.

Hidupmu berjalan. Kau tak kehabisan aksara untuk digadaikan. Dari dulu, aku sudah tahu bahwa kau lebih kokoh dariku. Tapi kita bermain peran sebagai dua orang yang saling menyembuhkan. Kau akan berbicara dengan dokterku sementara di hari lain, aku akan memasakkan sup krim atau kare ayam Jepang favoritmu saat kau demam.

Kita tak pernah benar-benar saling menguatkan sayang...

Aku membutuhkanmu karena aku begitu rapuh. Kau mempertahankanku berkali-kali karena kau gamang. Kita berdua adalah infeksi dari dua luka.

Suatu hari... Jika masih ada hari... Aku ingin bicara padamu sambil duduk di rumput, memakan bekal makanan yang telah kusiapkan untukmu dan tanpa tangis. Aku pernah bahagia dan memang salah mengira bahwa itu selamanya. Tapi bukan berarti aku tak berterimakasih atas segalanya.

Selama ini, aku adalah seorang nyinyir dan pembangkang di depanmu. Kau juga harus akui bahwa kau melakukan pembangkangan-pembangkangan di balik punggungku. Kita bukan dua orang yang saling menggenggam. Kau bersembunyi dalam diam, aku berteriak dalam keputus asaan.

Sementara, kita saling mengawasi dari kejauhan. Kita perlu sembunyi di ketiak ibu masing-masing yang luar biasa baik bagi kita berdua. Ibuku dan ibumu memang bidadari jatuh ke bumi yang jadi peneduh kita.

Jelang tidurmu, ingat-ingatlah aku yang setiap malam diam-diam memintamu untuk sikat gigi dan membersihkan wajah dengan sabun. Jangan lupa mengganti pakaian rutin dan sering-seringlah makan sayur. Aku tak masalah dengan siapapun teman makanmu. Aku juga tak mengapa jika kamu mengajak orang lain makan ke warung tenda sup kaki kambing, sate taichan, maupun sop konro kesukaan kita. Ajaklah seseorang ke festival musik yang kau sukai. Kita pernah sangat bahagia di tempat-tempat seperti itu. Jika rindu, dengarkan lagu klasik dan musik elektro pop kesukaanku (kau tahu betul soal itu dan menjadikan salah satu musik favoritku sebagai rujukan tulisanmu. Untuk ini, terimakasih!).

Bukan berarti, aku benar-benar tak ingin lagi kita bersama. Atau aku lupa cara bahagia denganmu. Tapi mungkin kita tak bisa bertemu lagi. Mungkin baik bagiku jika berpindah ke dunia yang lain. Dunia yang asing dan barangkali lebih menyeramkan. Tidak sepertiku, kau selalu punya mimpi, wujudkanlah.

Aku akan mengecup keningmu diam-diam seperti biasa jika memungkinkan. Jadi, baik-baik ya. Kau harus tahu, setiap tetes darah yang berasal tebasan pedang darimu selalu berdesir ngilu seolah berkata, "aku menyayangimu."

Minggu, 15 Juli 2018

Sadness

Maybe, some people wasn't allow to be happy. I'm one of them. Period.

Selasa, 12 Juni 2018

Luka yang sudah-sudah

Mungkin seperti ini rasanya hidup di dalam kutukan. Tiada langkah yang tak menciptakan luka. Ngilu-ngilu yang ditahan pada akhirnya terus digarami seiring berjalannya waktu. Aku mencium bau bacin keputusasaan menguar bersama udara yang menghembuskan api kecil hidup yang setengah mati dipertahankan.

Pada akhirnya semua orang menyelamatkan dirinya sendiri. Saat kita terluka, kita harus tetap tenang karena kemarahan kita bisa memadamkan nama baik seseorang. Bukankah mestinya itu yang harus dilakukan oleh seseorang yang punya nasib terkutuk?

Waktu nyatanya tak berjeda menyisah luka. Sepasang mata yang kering oleh air mata dipaksa terus mengerjab. Dada yang makin lama makin sesak mesti tetap berdetak. Butuh nyali untuk mati, butuh keberanian dan tenaga lebih untuk terus hidup.

Sampai kapan selongsong bernyawa ini menahan perih kutukannya?

Selasa, 29 Mei 2018

Ketika Sakit

Seorang dokter bagian gizi mengunjungiku. Bertanya kenapa aku tak menghabiskan sarapanku dalam dua hari berturut-turut. Aku mengeluh padanya bahwa sarapan yang terhidang terlalu berat untukku. Nasi, daging, dan sayur di pagi hari membuat perutku sesak. Aku ingin sarapan yang lebih ringan seperti roti, susu, dan buah.

Tentu saja aku bisa mendapatkan jenis sarapan yang aku inginkan. Di rumah sakit ini, selera pasien dan nafsu makannya memang diperhatikan. Aku pernah berkata bahwa aku bosan makan nasi dan memilih kentang rebus sebagai pengganti karbohidrat. Esoknya aku mendapat yang aku mau. Tapi aku agak menyesal meminta ganti kentang rebus karena lauk pauk yang tersedia di menu makanan pasien hanya cocok dipadukan dengan nasi.

Untuk bisa mengubah menu makanan, terlebih dulu dilakukan wawancara pada pasien. Dokter gizi juga akan bertanya pada suster tentang pola makanku sehari-hari. Apakah aku menghabiskan makananku atau tidak. Kemudian, berat badanku diukur beserta tingginya. Dia tampak terkejut karena berat badanku masuk kategori sangat ideal. Tensi darahku juga cukup baik.

Keesokan harinya, aku mendapatkan roti tebal berselai strawberry yang enak. Beserta buah jeruk dan telur rebus. Aku juga diberi susu yang rasanya kurang enak, namun toh aku tandaskan semuanya karena aku sangat menghargai perhatian ahli gizi padaku.

Aku tak pernah menjalani diet khusus untuk mendapatkan berat badan ideal. Terjadi begitu saja. Aku tak pernah benar-benar menghitung kalori yang masuk ke tubuh maupun lainnya. Hanya saja, kadang aku agak terganggu dengan perut berlemak sehingga terpaksa menjalani sit up setiap hari untuk mengempiskannya ke bentuk ideal.

Di sini, aku termasuk pasien yang jarang sekali dijenguk. Para penjenguk pasien biasanya bertanya-tanya sakit apakah orang-orang di sini. Hampir setiap hari, aku mendapatkan tatapan bertanya sekaligus kagum. Pembezoek pasien lain biasanya akan mencoba bicara padaku sambil berkata betapa cantiknya aku. Mereka bertanya dari mana asalku, apa penyakitku hingga dirawat di sini, dan beberapanya bertanya apakah aku punya keturunan kulit putih dari luar negeri karena rambut merahku tampak cocok sekali denganku. Aku menjawab seperlunya. Dalam hati, mereka pasti kasihan padaku karena harus mengalami sakit dan bertanya-tanya "gila" jenis apa yang aku idap sehingga aku sampai ke sini.

Aku begitu tidak percaya diri sampai-sampai ucapan-ucapan memuji tak pernah benar-benar aku percayai. Dari dulu aku memang tak percaya diri hingga aku bosan mendengar basa-basi orang lain tentang betapa pintar, langsing, dan cantiknya aku. Seseorang yang selalu berkata betapa cantiknya aku rupanya mencari ciuman dari perempuan lain. Sehingga ketidakpercayaan diriku bertambah-tambah.

Setiap hari suster dan dokter bertanya tentang keadaan diriku. Apakah tidurku nyenyak, mimpi apa yang menghampiri tidurku, apakah aku cukup minum, apakah kognitifku sudah pulih (jawabannya, sama sekali belum), apa yang aku khawatirkan.

Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur. Tentang mimpi yang ganjil yang menghadirkan sosok lelaki yang aku rindukan. Mimpi soal monster-monster yang mengejarku. Mimpi soal betapa putus asanya aku menjalani hidup. Tadi malam, aku bermimpi bertemu artis dalam sebuah perayaan dan mimpi berlanjut dengan kesialan bahwa aku harus bertemu dengan teman-teman SMP yang pernah memusuhiku. Kemudian, secara aneh mimpiku berubah menjadi pertemuan dengan lelaki yang aku rindukan. Ia bersikap sangat manis dan di dalam mimpiku ia sangat kuat menggendongku di punggungnya. Padahal di kehidupan nyata, dia tak pernah kuat menggendongku di punggungnya sehingga membuatku merasa gemuk. Padahal berat badanku tak pernah berlebihan. Tubuhnya saja yang terlalu kurus dan kurang olahraga.

Tentu saja aku punya kekhawatiran. Kekhawatiran-kekhawatiran soal dunia luar ini membuatku makin lama dirawat di sini. Sebenarnya, bisa saja aku berbohong bahwa kondisiku jauh lebih baik dari sebelumnya. Tapi aku akan menyusahkan diri sendiri nantinya karena bohong dalam pemeriksaan akan membuatku makin sulit sembuh. Aku harus mengakui bahwa aku sedang sakit dan butuh pertolongan. Mengingkari sakitku hanya akan membuat aku jauh dari kesembuhan.

Ada juga kekhawatiran sepele tentang dengan siapa nantinya aku berbagi musik yang bermutu dan film-film di bioskop. Kepada siapa aku nanti minta tolong saat dirajam kesepian dalam menjalani hidupku yang tidak produktif. Belum lagi hal-hal seputar finansial yang mencekikku tiap hari.

Sakit ini membuatku benar-benar bingung. Kata dokter, itu bagian dari gejalaku dan apa yang aku rasakan memang sedang dalam kondisi yang seperti itu. Di sini, tak ada yang memintaku mengingkari apa yang aku rasakan. Tak ada yang mengatakan bahwa apa yang aku rasakan hanyalah drama. Semua orang sangat pengertian dan itu membuatku merasa aman. Tapi aku makin ngeri bagaimana caranya menghadapi dunia luar nantinya.

Aku merasa seperti Naomi dalam Norwegian Woods karya Murakami yang putus asa. Bedanya, aku tak ingin mengakhiri hidup sepertinya. Membaca novel itu membuatku berpikir bahwa orang yang aku cintai bukan seperti tokoh Watanabe, melainkan lebih seperti Nagasawa yang sangat egois dengan kegemaran mencari banyak perempuan dan berencana pergi meninggalkan kekasihnya ke luar negeri tanpa memikirkan perasaannya.

Aku sudah lelah menjalani sakit ini. Aku ingin sembuh. Aku makan, tidur, dan menelan obatku secara teratur. Aku bangun tidur, menghabiskan sarapanku, mandi, dan pada pukul 11-12 siang, aku akan memegang ponselku yang dititip pada suster. Kemudian aku akan tidur siang maupun membaca buku. Biasanya aku akan terbangun pukul 4 atau 5 sore. Sembari bertanya-tanya adakah seseorang yang akan menjengukku. Aku akan memegang handphoneku pada pukul 6-9 malam. Bermain game, membalas pesan whatsapp, dan melihat-lihat instagram. Mbak Umu adalah pembezoek rutinku. Ia akan membawakan baju bersih dan membawa pulang baju kotorku. Aku sangat merasa bersalah merepotkan dia. Tapi aku tak punya pilihan lain saat ini. Ia adalah orang paling masuk akal yang bisa aku repotkan saat ini.

Aku benar-benar lupa bagaimana menjalani hari yang normal di luar sana. Aku masih merasa buntu di sana sini. Tapi aku rasa, aku sudah berusaha sembuh. Kelak, aku juga pasti sembuh dan membayar semua hutang budi yang menumpuk selama aku sakit.

Kamis, 22 Maret 2018

Soal Ribut-Ribut Aktivis dan SJW itu...

Kosa kata "aktivis" sudah akrab di telingaku sejak aku usia 7 atau 8 tahun. Kosa kata itu terlihat sebagai sesuatu yang keren di mataku. Karena mana mungkin ada seseorang yang menyuarakan keadilan tanpa dibayar dengan taruhan nyawa?

Kakak pertamaku adalah seorang aktivis. Suatu hari aku mendengar ia dibawa ke rumah sakit karena keracunan gas air mata saat demonstrasi anti Soeharto bersama mahasiswa UNS lain. Sekalipun ada demo dan bakar-bakaran di mana-mana, ia tak sampai hilang. Kena gas air mata itu sudah puncak risiko dari segala macam aktivismenya selama ini.

Aku tak banyak bertanya soal aktivisme padanya. Menurut mbak Indah, aku adalah anak kecil caper yang punya pertanyaan-pernyataan menyebalkan. Ia terlalu lelah menjawab. Aku jadi takut untuk ingin tahu lebih jauh. Apalagi, belakangan ini, setiap kali ia pulang kuliah, ia menutup pintu kamar untuk membaca buku atau mengetik tugas kuliah dengan mesin tik tua yang suaranya membahana sampai rumah sebelah. 

Walau begitu, aku tetap jadi adik kecil yang sangat mengaguminya.

Komik politik Amien Rais lah yang membuatku mengerti makna aktivis. Di dalam komik itu, ada penjelasan bahwa kondisi Indonesia di era reformasi sangat kacau. Ada gambar tentang demonstrasi mahasiswa dan aksi bakar-bakar gedung di mana-mana. Mahasiswa adalah penggerak reformasi. Buatku, membaca komik yang bercerita tentang bagaimana mahasiswa menduduki atap gedung DPR itu sangat heroik. Bahkan lebih keren dari tokoh jin ifrid dalam komik Siksa Neraka yang dijual di emperan SD ku.

Tentu saja Amien rais zaman dulu sangat keren. Karena ia memang berjasa menggulingkan Soeharto dan menerjemahkan buku Ali Shariati. Jangan bayangkan Amien Rais zaman sekarang yang serba nyinyir ngawur dan delusional.



Aku kecil tak pernah membayangkan bahwa suatu hari akan ikut demo di berbagai aksi dan menyuarakan isu-isu keadilan sosial di saat dewasa. Aku hanya memperhatikan, sejak kecil aku peduli dan bersuara sekalipun hanya berupa obrolan keresahan dengan teman sekolah yang tak tahu mau menanggapi apa. Selebihnya, bingung-bingung-bingung. Kakakku tak pernah ada yang mengajari bagaimana caranya jadi aktivis. Yang jelas, setiap kali ada isu penindasan, aku tak tahan untuk tak peduli.

Ibu kembali berkumpul bersama anak-anaknya di Solo sekitar awal tahun 2005. Kata ibu, tak ada apa-apa lagi di Jakarta. Tak ada sidang Ad Hoc, tak ada demonstrasi lagi yang ingin ia ikuti. Ia bilang, sahabatnya dibunuh intel. Ia bercerita tentang Cak Munir yang wajahnya lebih mirip bule daripada orang Indonesia. Ia bilang, saat Munir meninggal, para aktivis ikut melayat ke Malang. Banyak orang berhutang budi pada Munir. Termasuk ibuku yang banyak dibantu oleh almarhum ketika kasus Tanjung Priok 1984 sedang disidangkan.

Aku kembali mendengar soal aktivis lagi setelahnya. Pikiran kecilku saat itu heran, ternyata, saat Orde Baru sudah pergi, masih harus ada aktivis yang dibunuh. Padahal, aktivis 98 yang di dalam komik Amien Rais itu dinyatakan hilang, belum kembali.

Di Jakarta, kantor yang pertama kali aku injak adalah kantor KontraS di jalan Borobudur. Di sana, aku melihat mural, dokumen, buku, monumen, dan berbagai macam patung soal pelanggaran HAM. Di sana, aku mempelajari kasus ibuku. Aku mulai bisa membedakan bahwa saat mbak Indah demo, ia adalah aktivis. Mbak Indah sendiri tak pernah kelihatan menyuarakan kasus Tanjung Priok saat mahasiswa. Sedangkan saat ibu demo, ibu selalu tampil sebagai korban. 

Perbedaan ini membuatku bingung. Jika aku menyuarakan isu keadilan sosial, aku ini aktivis atau keluarga korban?

Keterlibatanku di pers kampus membuat aku dipanggil banyak orang sebagai aktivis pers mahasiswa. Aku juga bingung saat itu melakukan aktivisme apa. Karena Paramadina adalah kampus yang nyaris tanpa kasus apa-apa di masa Anies Baswedan. Apalagi tak banyak juga yang aku tulis selain kegiatan seremonial belaka. Parmagz bagiku juga bukan pers mahasiswa garang yang mengkritisi kebijakan kampus. Anggota redaksinya adalah para mahasiswa beasiswa yang takut jika kekritisan akan dapat membuat mereka tampak tidak berterimakasih terhadap donornya. 

Saat aku mulai kerap bicara soal kasus pelanggaran HAM dan konflik sosial lain, orang mulai menyebutku aktivis. Sejak awal aku merasa terganggu. Aku tak pernah dapat uang dari kegiatan apapun seputar HAM, tapi kenapa orang-orang melabelkan itu seolah hal tersebut merupakan profesi?

Benar bahwa selanjutnya, aku diajak riset oleh Ph.D candidate dari Kanada dan Amerika soal diskriminasi agama. Aku juga diajak Andreas Harsono untuk ikut sebagai peneliti di HRW. Masih ada riset lainnya. Tapi bukankah itu membuatku jadi seorang peneliti ya, bukan aktivis.

Aku adalah keluarga korban pelanggaran HAM berat yang kasusnya dilupakan oleh negara dan generasi muda. Saat aku bicara soal pelanggaran HAM yang berdampak langsung pada lingkaran terdekatku, apakah aku adalah aktivis?

Aku adalah seorang anak yang lahir di keluarga Syiah. Hal itu membuatku lebih peka terhadap penindasan minoritas agama. Apalagi aku juga melakukan penelitian serius seperti yang aku sebutkan di atas. Saat aku bicara soal diskriminasi agama, apakah aku adalah seorang aktivis?

Aku adalah seorang yang punya brain injury bernama PTSD (Post Trauma Stress Disorder). Sekarang ini disorderku membaik dengan banyak konseling dan terapi. PTSD ini juga membuatku jadi pribadi yang sangat depresif dan insecure. Tak peduli apapun hal yang telah aku lakukan. Aku mendapatkan PTSD dari kasus kekerasan seksual yang kapan-kapan akan aku ceritakan detailnya. Sehingga, isu perempuan dan kesehatan mental adalah hal terdekat yang perlu aku suarakan. Namun, saat aku bersuara soal isu tersebut, orang menyebutku sebagai aktivis.

Aku juga membicarakan penggusuran. Karena aku tahu betul bagaimana sulitnya mengurus perumahan dan pertanahan. Buatku, negara mesti menggunakan cara-cara manusiawi untuk bernegosiasi dengan warga.

Jika rusun disebut sebagai solusi, maka bagaimana caranya meneruskan perekonomian warga yang sebelumnya berjualan di depan rumahnya masing-masing? Karena ongkos sewa kantin di rusun, ditambah dengan biaya sewa rusun. Jadi, sekalipun di dalam gedung terlihat lebih "beradab", aku melihat dengan mata kepala sendiri bahwa warga tak bahagia. kamu boleh tak setuju soal ini, tapi kamu bisa baca suara warga di dalam buku ini. Di dalam isu kota pun, aku bertindak sebagai jurnalis sekalipun orang akan tetap memanggilku dengan sebutan aktivis.



Ada nyinyir-nyinyir tertentu yang bilang bahwa konflik sosial dipelihara oleh para aktivis biar mereka dapat proyek. Proyek yang berasal dari penderitaan orang miskin. Jadi, ketika ada yang ngomong gini dan label aktivis udah terlanjur melekat, aku bisa apa? 

Iya sih, kita tak perlu merasa bahwa twit no mention dari teman itu ditujukan ke kita. Tapi kalau teman yang kamu kenal menyebut satu kasus yang kamu tangani sendiri isunya dan masih menyatakan ciri tertentu yang jadi gaya bahasamu, maka kamu juga akan merasa bahwa ucapannya diajukan padamu. Kalau dia mengelak, ya sudah. Dia berhak mengelak, seperti halnya kamu berhak merasa twit spesifik itu 'kamu banget'.

Seiring dengan perkembangan media sosial, kini orang tak sembarangan lagi memanggil aktivis pada orang yang peduli pada isu sosial. Apalagi orang-orang yang bekerja di LSM mulai menyebut diri mereka sebagai pekerja. Misal: Pekerja KontraS, Paralegal LBH, Pengacara LBH, dan sebutan lain yang bukan aktivis.

Tapi, kalau tidak dipanggil aktivis, maka panggilan apa yang disematkan pada orang yang bicara seputar isu sosial?

Mereka memanggilnya dengan sebutan SJW. Social Justice Warrior atau Pasukan Keadilan Sosial.

Term SJW ini sebenarnya lahir sejak abad 20 sebagai sesuatu yang netral. Namun pada tahun 2011, Twitter membuatnya jadi sesuatu yang buruk. Seolah SJW ini menyuarakan kepentingannya sendiri yang serba egois. Seolah, membicarakan isu feminisme, keadilan pangan, keadilan tanah, keadilan sosial itu adalah sesuatu yang sok dan menyebalkan. 

Di era Trump jadi presiden, segala pengkritik seputar politik disebut SJW. Bahkan, konon Trump menang karena masyarakat lelah dengan political correctness. 

Emang sih, SJW sering mengoreksi pemikiran orang lain karena egonya sendiri. Karena istilah ini memang anak kandung dari Twitter, maka gerakan SJW mirip sekali dengan slacktivist. Yaitu orang yang merasa bahwa ngetwit, petisi online, dan gerakan media sosial bisa mengubah dunia. Kalau diajak aksi nyata di lapangan, slacktivist ini cenderung ogah. Pada dasarnya, mereka memang menyuarakan isu keadilan sosial untuk kepentingannya sendiri. Untuk memoles citra di media sosial misalnya. Ya mirip-mirip dengan para buzzer yang kerap disebut sebagai keyboard warrior.



Sayangnya, di Indonesia, SJW ini akhirnya dipakai rata untuk semua aktivis, jurnalis, peneliti dan lainnya yang berseberangan ide politik. Terutama setekah Pilkada DKI Jakarta. Sejauh yang aku amati, jarang sekali ada pendukung Ahok dan Jokowi yang diberi label SJW. SJW ini, hanya label yang diberikan pada orang yang mengkritisi keduanya sekalipun bukan pendukung lawan Ahok.

Sebut saja, beberapa orang yang dinyinyirin sebagai SJW seperti jurnalis Febriana Firdaus, pengacara LBH Jakarta Veronica Koman dan Alldo, peneliti tata kota Elisa Sutanudjaja, dan... aku. Nama lainnya banyak. Tapi tak enak jika disebut.

Bahkan, seorang selebtwit yang hobi Twitwar pernah bikin vlog khusus yang membahas SJW. Salah satu yang dia permasalahkan adalah para aktivis yang terlalu sensitif jika ada humor seksis. Dia bilang, "kayaknya temen gue yang aktivis beneran nggak segitunya... blah blah."

Padahal, aktivis feminis beneran yang jadi temanku dan tidak punya Twitter juga tak akan tertawa dengan humor seksis. Tanyalah direktur LBH Apik Siti Mazuma, Direktur Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, dan Luviana sebagai pengelola konde.co soal humor seksis. Apakah mereka ikut tertawa ataukah mengejek? Mereka selama ini selalu konsisten menolak humor seksis di manapun tempatnya. Jadi, mungkin teman selebtwit yang bersangkutan belum selesai kajian feminismenya. Karena feminist beneran ga segan mengingatkan rekannya untuk berhenti menggunakan jokes seksis.

Jadi, misalnya aku bicara soal isu yang paling dekat denganku seperti HAM, kesehatan mental, feminisme, dan sebagai peneliti/jurnalis mengomentari masalah kota, maka akan ada netizen yang bilang aku adalah SJW. Semua hal yang aku lakukan di lapangan, semua usaha untuk bertahan sebagai survivors, akan jadi receh di mata netizen karena aku dianggap SJW.

Bahkan, saat ada acara di sebuah kota yang menghadirkan aku sebagai pembicara, seorang hadirin bilang, "oh... ini Syahbanu yang jadi SJW itu ya..."



Aku bilang padanya bahwa aku keberatan dengan apa yang ia ucapkan. Ia tertawa. Karena SJW memang hanya akan ditertawakan di Twitter. Sekalipun kamu adalah seorang selebtwit yang hobi mengoreksi pandangan politik orang, asal kamu tak mengkritik Ahok dan Jokowi, maka kamu tak akan disebut sebagai SJW. CMIIW. Lagipula, aku tidak pernah melihat orang yang menyebut SJW itu terlibat pengorganisasian massa atau sekedar memegang peranan penting di dunia nyata. Mereka yang kerap memberi label SJW pada yang lainnya adalah SJW-nya SJW karena mereka juga mudah sekali kena trigger dengan pemikiran yang dianggap salah atau berseberangan.

Mungkin benar kata Evi Mariani, Redaktur the jakarta Post, "Twitter is high school full of bullies..." Kita tak bisa menyenangkan semua pihak. Kita juga tak bisa menganggap bahwa ucapan kita pasti benar. tapi apapun yang kamu twit, bisa saja berpotensi menyerangmu balik.

Sebagai orang yang aktif di media sosial maupun aktivitas di dunia nyata dalam isu-isu keadilan sosial, aku merasa bahwa mengubah perspektif seorang individu sama sulitnya dengan menciptakan revolusi.

Benar juga sih yang pernah dibilang Bilven saat aku tanya kenapa mau berkutat lama di Ultimus. Dia bilang, "karena mencetak revolusi itu sulit, maka kita perlu mencetak buku."

Aku tak berharap, setelah ini orang-orang akan benar-benar berhenti menyebutku sebagai SJW dan aktivis. Aku survivors dan aku perlu menyuarakan kasusku. Setidaknya, saat seorang netizen random mengatakan bahwa aku adalah SJW, aku akan mengirimkan link blog ini. Ia harus tahu bahwa aku tidak suka dipanggil dengan sebutan itu. Kalau ia tetap memanggil orang dengan panggilan yang tidak disukainya, maka kita bisa melihat sampai mana kualitas pribadi orang tersebut. 

Selasa, 13 Maret 2018

Gadis Cantik

Ada tragedi, ada keputusasaan, ada pergolakan. Lalu perempuan itu mengakhiri kutukan nasib buruknya di depan kereta yang melintas.

Beberapa jam kemudian orang-orang dan media akan membicarakannya sebagai gadis cantik yang tewas bunuh diri. Gadis cantik yang tampil di halaman depan koran kuning. Ia tergambar sebagai gadis cantik penuh drama. Mereka membicarakan gadis cantik yang -sayang sekali- tidak bisa bersyukur.

Kenangan orang-orang yang mengenalnya hanyalah seputar gadis cantik yang terlanjur mati muda. Kenangan orang-orang yang tidak mengenalnya adalah tentang gadis cantik yang akan masuk neraka.

Sedangkan kenangan gadis itu tentang dirinya sendiri adalah luka.

Luka...

Iya. Hanya luka.

Senin, 12 Februari 2018

Tentang Proses Belajar yang terus Berjalan

Hari Sabtu lalu, aku ngajak Tesa untuk kondangan ke temen kuliahku. Karena lokasinya di Depok, Tesa ngajak naik KRL.

Tentu saja, seperti janjian kami biasanya, dia terlambat. Nyaris satu jam. Karena masih ada waktu, maka aku tidak marah. Aku merasa bersyukur bahwa setidaknya kami bisa berangkat.

Ya sebenarnya kondangan naik KRL itu ribet. Karena aku pake bawahan batik pasangan kebaya dan wedges. Turun tangga kosan saja susah melangkah. Tapi aku yakin bisa.



Lagipula, kalau dia ngajaknya naik KRL, masak aku mau maksa minta naik Go-Car? Dia punya uang, aku juga punya. Dia rasa, lebih efisien naik kereta. Ya sudah.

Kami janjian di stasiun. Dia show up pake baju batik dengan sneakers dan ransel.

Aku tanya isi ranselnya apa, dia jawab, "laptop". Dalam hati mikir, 'kan mau kondangan. Kok bawa laptop...?'

Aku tanya kenapa bawa laptop, katanya, "ga tenang aja kalau ga bawa."

Iya, aku paham dia pasti mikirin kerjaan. Orang dengan 3 pekerjaan sekaligus memang hectic.

Baju kami tidak serasi seperti pasangan lainnya. Namun aku sama sekali tidak mengeluh dengan gayanya. Dia memang seperti itu apa adanya. Orangnya memang tidak pernah beli sepatu baru sebelum sepatu lamanya rusak. Dia tak pernah punya sepatu selain sneakers dan ga punya jas selain jas dokter yang biasa dia pakai praktek. Dia memang bukan orang yang dandy soal penampilan. Padahal adik dan ayahnya cukup necis lho.

Aku merasa, selama dia nyaman dengan dirinya yang sederhana, aku tak perlu mengeluh apapun. Dia pernah bilang bahwa dia tak bisa membelanjakan uangnya untuk penampilan.

Sebagian besar pengeluarannya adalah untuk beli buku bacaan dan CD musik favoritnya. Sekalipun ada spotify, Tesa adalah orang yang masih senang membeli CD karena ia merasa perlu mendukung musisi-musisi favorit dan pedagang CD yang mulai digerus arus segala macam digitalisasi. Ia juga orang yang rajin beli merchandize musisi seperti kaos dan jaket. Bahkan, kadang dia hanya berkaos saat layani pasien. Sampai-sampai BPJS Kesehatan pernah tegur dia langsung karena ada pasien yang mengeluh bahwa dokter gigi yang menanganinya kurang meyakinkan karena bersepatu sneakers dan berkaos band metal warna hitam. Sejak saat itu dia baru disiplin pakai jas dokter warna putih itu.

Aku melihat bahwa kami mulai bertumbuh. Tesa memang masih terlambat kalau janjian, tapi dia selalu berusaha. Sedangkan aku sudah bisa menggunakan pilihan ekspresi terbaikku dalam menyikapinya.

Dia mengapresiasi responku yang menurutnya manis sekali saat dia buat kesalahan datang terlambat. Kami pernah sangat telat datang kondangan sahabatku dan aku menangis sepanjang jalan karenanya. Dia pasti masih ingat betapa ekspresi kecewaku padanya itu membuat dia cukup kewalahan.

Aku tidak marah kali ini. Sebaliknya, aku justru mengapresiasi Tesa yang mau luangkan waktu di tengah hectic urusan kerjaan dan kongres HMI yang sudah mau dekat tanggalnya. Dia ada kegiatan, tapi dia mengutamakan kepentinganku.

Setelah dari kondangan pun, aku bilang padanya bahwa dia tak perlu mengantarku. Aku bisa pulang naik gojek. Dia setuju.

Aku tahu dia harus menyelesaikan agendanya hari ini. Aku tanya padanya, bukankah sebagai pasangan, aku ini tak pernah merepotkan dia? Aku tak minta antar jemput. Aku tidak minta ditelepon tiap hari. Aku tidak minta kami setiap hari berkabar secara instens.

Dia bilang, "iya. Makasih ya."

Kami bicara banyak hal saat bertemu. Termasuk soal video Instagram sebuah klinik kecantikan yang menawarkan filler hidung. Aku bilang padanya bahwa kalau hidungku mancung sedikit, aku pasti tampak lebih cantik. Dia bilang, "kamu sudah cantik kok sayang. Cantik sekali."

Siapa yang tidak suka dibilang cantik?

Oh, ada lagi.

Setiap aku merasa mulai gendut, dia selalu bilang, "ah gendut darimana? Kamu cantik kok. Sudah ideal."

Padahal perutku kadang memang agak buncit. Dia tahu itu. Seingatku, dia tidak pernah mengeluh soal fisikku.

Nah, ini lagi.

Suatu hari aku merasa gigiku terlalu kuning. Aku meminta Tesa untuk melakukan bleaching gigi agar warnanya lebih cerah. Dia bilang, "sayang... Kulitmu itu kan putih. Kulit warna putih itu memang punya warna gigi serupa gading. Gigi kamu tidak kuning karena jorok, tapi karena warna aslinya memang seperti itu. Kan saya sendiri yang periksa gigimu."

Tesa pernah bengong lihat perempuan yang pakai baju seksi. Aku merasa bahwa apa yang dilakukannya wajar. Aku sering juga kok memuji soal cowok lain sebagai orang yang ganteng saat sedang jalan sama Tesa. Kami berdua memang bersikap santai soal memuji lawan jenis dengan cantik maupun ganteng.

Tapi ternyata dia tidak bengong karena baju seksiny. Dia berbisik, "saya seringkali bersyukur karena kamu tidak ikut tren membentuk alis-alis seperti perempuan lain. Saya tidak suka. Tidak tampak alami."

Aku memang tidak membentuk alisku sama sekali. Bukan berarti aku menghina mereka yang bersusah payah dengan alisnya. Alasanku sederhana, aku tidak bisa seni membentuk alis sama sekali. Sama sekali.

Jadi wajar bukan kalau alisku masih alami.

Kembali ke hubungan kami.

Sekarang aku menyadari bahwa makin ke sini, kami mulai bisa mengenali satu sama lain. Aku bisa mengendalikan emosi dan lebih apresiatif. Dia juga lebih ekspresif mengungkapkan apa yang ia mau sehingga kami tidak bertengkar hanya karena aku banyak bicara sedangkan dia diam. Kami memang pernah saling marah, kecewa, putus, dan lainnya. Tapi ternyata kecewa dengan sikap pasangan yang tidak sesuai bayangan ideal itu rasa sakitnya tidak ada apa-apanya dibanding harus berpisah.

Lagipula, setiap kali insecurity ku timbul, dia selalu bilang, "kamu baik sekali sama saya. Baiiiik sekali." Lalu Tesa akan membuatku seolah aku adalah perempuan tercantik di matanya.

Dia menjalankan tugas sebagai pasangan dengan baik. Dia membuat aku merasa beruntung. Dia membuat aku begitu mudah mensyukuri apa yang aku punya.

Dalam perjalanan ke kosan setelah kita berpisah di stasiun, aku menerima pesan Tesa di WhatsApp. Dia bilang, dia beruntung sekali dapat pasangan baik yang juga bisa menjaga orangtuanya. Ia merasa tidak bisa menjadi anak yang cukup berbakti pada orangtuanya. Bahkan, tante dan seluruh keluarganya pun menyayangiku. Hal seperti ini tidak pernah dia duga karenanya sebelumnya tidak ada yang disukai oleh keluarganya.

Bahkan, di awal kita jadian, dia sempat beri warning bahwa aku tidak boleh kecewa kalau keluarganya tidak menyukaiku. Karena semua mantannya memang tidak disuka. Saat akhirnya bertemu sama mama dan papanya, mereka lovable sekali. Bahkan waktu aku dan Tesa bertengkar, mamanya lebih sering membelaku. Mama bilang aku lebih dewasa dari anaknya. Aku bilang padanya bahwa sekalipun aku lebih dewasa, anaknya punya kesabaran yang lebih banyak dari aku.

Aku mencintai mereka seperti orangtua kandungku sendiri. Senada dengan keluargaku, mereka pun mencintai Tesa seperti anak sendiri.

Aku tidak tahu perjalanan kami akan sampai mana. Yang pasti, aku selalu bersyukur saat kami ada masalah besar ddi antara kami, dia mau meluangkan waktu untuk konseling agar hubungan kami tak jadi toxic. Tidak semua lelaki mau tempuh jalur ini.

Aku bersyukur bahwa di masa-masa sulit dia tidak pergi. Aku selalu mendapatkan suntikan energi lebih saat ia bilang betapa kerennya aku sambil beri semangat kecil.

Kami tidak tahu apakah kami akan ditakdirkan bersama atau tidak. Saat ini, aku tidak punya rencana yang tidak melibatkan dia di dalamnya. Dia juga sama.

Jika saja -semoga tidak terjadi- kami berpisah pun. Aku ingin mengenang hari-hari bersamanya sebagai masa yang membahagiakan. Dia adalah salah satu alasan yang membuatku yakin bahwa orang dengan banyak kesedihan sepertiku pun masih layak untuk bahagia dan dibahagiakan.

Terima kasih ya, Tesa.